akademisi

ILMU RIJAL AL-HADIS



A.   Pengertian ilmu rijal al-hadis.
Secara bahasa kata rijal merupakan jamak dari kata rajul yang artinya kaum pria.[1] Menurut ahli ilmu rijal al-hadis ialah;
عِلْمٌ ﻴُﺑْﺤَﺚُ فِيْهِ عَنْ اَحْوَا لِ الرًّ وَاةِ سِيْرَهًمْ مِنَ الصَّحَا بَةِ وَا لتَّا بِعِيْنَ وَاِتْبَاعِ اِتْبَاعِهِمْ
Suatu ilmu yang di dalam ilmu itu dibahas tentang keadaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it-tabi’in".[2]
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ رُوَاةِ الْحَدِ ﻴْﺚِ مِنْ ﺤَﻴْﺚُ اَنَّهُمْ رُوَاةٌ لِلْحَدِ ﻴْﺚِ
" Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis. "[3]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu rijal al-hadis ialah ilmu yang sangat penting posisinya dalam mengetahui kondisi para rawi, karena dalam ilmu ini dijelaskan riwayat hidup perawi, mazhab yang dipegangi serta keadaan para perawi dalam menerima hadis.
B.   Klasifikasi ilmu rijal al-hadis.
a.       Jarh wa ta’dil.
Jarh menurut bahasa berarti luka. Kata  jarh lebih banyak digunakan dalam bentuk abstrak (non fisik) dan juga dalam bentuk konkrit (fisik).[4]
Menurut istilah,  jarh adalah penolakan seorang rawi yang hafal (hafidz) dan kuat daya ingatnya (mutqin’)  terhadap periwayatan perawi karena adanya cacat yang mencederakan  atau terhadap periwayat rawi fasik, rawi tadlis, rawi pendusta, rawi syadz, dan lain sebagainya.[5]
Ilmu jarh wa ta’dil ialah ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya ‘aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawy. Menurut Dr. ‘ajjaj al-khatib ilmu jarh wa ta’dil ialah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawy dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Para ulama ahli kritik hadi telah menetapkan teknik atau teori agar penelitian dapat lebih obyektif.
·         Ta’dil harus didahulukan dari jarh.[6]
Pada umumnya ulama hadis tidak menerima teori terebut karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.
·         Jarh harus didahulukan dari ta’dil.[7]
Pendukung teori in ialah kalangan ulama ahli fikih dan ulama ahli ushul fikih. Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan ‘adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.[8]
·         Apabila terjadi pertentangan antarakritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan  yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.[9]
·         Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya  terhadap orang yang siqah tidak diterima.[10]
·         Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.[11]
·         Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tdak perlu diperhatikan.[12]
Matartib al-jarh wa ta’dil.
a)      Peringkat ta’dil dan lafadz-lafadznya.
I.     Menggunakan bentuk superlative, dengan wazan “"افعل , berarti “sangat”.
·         اوﺛق الناس    : orang yang paling dipercaya
·         اﺛبت الناس    : orang yang paling teguh
·         اليه المنتهي في اﻟﮅﮆﺒﻳﺖ : orang  yang  paling  top  keteguhan  hati dan Lidahnya
II.  Mengulang lafal yang sama atau maknanya. Setiap pengulangan lafal yang lebih banyak, itu menunjukkan atas kuatnya tingkatan rawi di dalam segi ‘adalah-nya.
·         ﺛبت ﺛبت       : orang yang teguh lagi teguh
·         ﺛﻘﺔ حجة       : orang yang dipercayai lagi pula hujjah
·         ﺛبت ﺛﻘﺔ        : orang yang dipercayai lagi pula teguh.[13]
III.                        Lafal yang menunjukkan pada tingkatan kedhabithan, atau pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu.
·         ﺛبت             : orang yang teguh (hati dan lidahnya)
·         ﺛﻘﺔ              : orang yang tsiqah
·         حجة           : orang yang dapat dijadikan hujjah
·         متقن            : orang yang meyakinkan (ilmunya).[14]
IV.   Lafal yang menunjukkan pada tingkatan kedhabithan atau keadilan rawi yang tidak penuh.
·         صدوق         : jujur
·         لا بأ س به    : tidak mengapa dengannya
·         خيار الناس   : orang pilihan
V.   Lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan kedhabithan rawi di bawah tingkatan keempat. [15]
·         ما اقرب حدﻳﺛﻪ           : sesuatu mendekati hadisnya.
·         صالح الحدﻳﺚ                        : hadisnya baik
·         شيح صالح                : guru yang  baik
VI.   lafal-lafal yang menunjukkan pada tingkatan rawi yang memilki sifat-sifat adalah yang tidak kuat seperti ucapan.[16]
·         صدوق إن شاء الله       : insya Allah dia jujur
·         ارجو لا بأس به          : orang yang diharapkan tsiqat atau tidak cacat.
·         صويلح                    : orang yang sedikit kesalihannya
·         يكتب حدﻳﺛﻪ               : ditulis hadisnya
·         يعتبر به                    dii’tibarkan hadisnya(hanya untuk dipertimbangkan hadisnya).
      Menurut Syaikh Manna al-Qaththan; Tingkatan I-III dapat dijadikan hujjah. Tingkatan IV-V tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka boleh ditulis sebagai bahan pertimbangan kedhabitan, dan tingkatan VI tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dhabith.
b)      Jarh dan lafadz-lafadznya.
I.     Menunjukkan adanya kelemahan rawi terendah
·           لين حدﻳﺚ     : lemah hadisnya
·           فيه مقال       : adanya  ada  kelemahan
·           اوتي مقال فيه : di dalamnya pembicaraan yang paling rendah
II.  Menunjukkan adanya kelemahan perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah
·           لا يحتج به    : tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya
·           واه              : hadis lemah
·           منكر الحدﻳﺚ  : hadis yang ditolak
·           له مناكير      : memiliki hadis-hadis munkar
III.   Menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya
·         ضعيف جدا               : lemah sekali
·         لا يكتب حدﻳﺛﻪ            : tidak dicatat hadisnya
·         طرح حدﻳﺛﻪ               : hadisnya dibuang
·         مردود الحدﻳﺚ            : hadisnya ditolak
IV.   Menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis
·           متهم بالكذب               : tertuduh bohong
·           متروك الحدﻳﺚ           : hadisnya ditinggikan
·           ليس بالقوي               : tidak kuat
·           فيه نظر                    : perlu diteliti hadisnya
V.   Menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya
·         كذاب           : orang yang bohong
·         وضاع         : orang yang dusta
·         يكذب           : orang yang berbohong.
VI.   Menunjukkan adanya dusta yang berlebihan,dan ini seburuk-buruk tingkatan.
·      فلان اكذب الناس         : orang yang paling bohong
·      اوضع الناس              : orang yang paling dusta
·      اليه المنتهي في الوضع  : orang yang paling top kedustaanya[17]
Keterangan menurut Syaikh Manna al-Qaththan: dua tingkatan pertama tidak dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja, dan walaupun orang pada tingkatan kedua lebih rendah daripada tingkatan pertama sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis dan tidak boleh dianggap sama sekali.
Syarat eseorang dapat dinyatakan jarh wa ta’dil.
    1. Alim
    2. Bertaqwa
    3. Wara’
    4. Jujur
    5.  Tidak terkena Jarh
    6. Tidak fanatic terhadap sebagai perawi memahami dengan baik sebab-sebab Jarh
b.      Tarikh ar-ruwah.
Ilmu tarikh ar-ruwah membahas kapan dan dimana seorang rawy dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa orang yang pernah mengambil hadis daripadanya dan akhirnya diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat.[18]
Faidah mempelajari ilmu ini ialah untuk mengetahui muttasil atau munqati’nya sanad hadis dan untuk mengethui maffu’ atau muralnya pemberitaan hadis.
Metode yang digunakan untuk menulis kitab tarikh ar-ruwah.
   Mengelompokkan perawi berdasarkan angkatan tertentu yang disebut Thabaqat.
   Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini penulisnya menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-Dzahabi.[19]
   Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu para penulis yang membahas apara periwayat hadis.
   Menyusun periwayat berdasarkan negeri, penulisnya mengemukakan para ulama dari satu negeri dan mengemukakan keutaman suatu negeri, kemudian menyebutkan para sahabat yang ada disana, menjadikannya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis.
   Menyusun berdasarkan Asma (nama asli) perawi Kunya, Alqab Ansab (keturunan), dan berdasar  ikhwah dan akhwat  (saudara laki-laki dan saudara perempuan).
C.   Kitab-kitab rujukan.
o   Ibnu’ Abdil-Barr (wafat 463 H/1071 M). استعا ب في معرفة الاصحاب 
o   Izud-Din Ibnul-Asir (wafat 630 H/ 1232 M). اسد العاب في معرفة الصحابة
o   Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/ 1449 M). إصابة في تمييز الصحابة
o   Ibnu Sa’ad (wafat 230 H). الطبقات الكبري
o   Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/ 1348 M). التذكرة الحفاظ
o   al-Bukhari (wafat 256 H/ 870 M)  تاريخ كبير
o   Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H). الجرح و التعديل
o   Ahmad bin Muhammad al-Kalabazi (wafat 318 H). الهداية والارشاد في معرفة اهل اﻟﺛقة والسداد
o   Muhammad bin ‘Ali al-Husaini (wafat 765 H). التذكرة برجال العشرة
o   Ibnu Hajar al-A’Asqalan تعجيل المنفعة بزواند رجال الأئمة الأربعة
o   Abul-Hasan Ahmad bin’ Abdilah al-‘Ijli (wafat 261 H) كتاب ا اﻟﺛقات
o   Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (wafat 354 H / 965 M) كتاب  اﻟﺛقات
o   ‘Umar bin Ahmad bin Syahin (wafat 383 H). تاريخ اسماء اﻟﺛقات ممن نقل عنهم العلم
o   al-Bukhari الضعفاء الكبير dandan  اﻟﺼﻐﻳﺮالضعفاء
o   an-Nasa’i الضعاء و المتروكون
o   Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr al-Uqaili (wafat 323 H). كتاب الضعفاء
o   Abu Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al Bustiمعرفة المجروحين و المحدﺛﻳن
o   Abu Ahmad ‘Abdullah الكامل في ضعفاء الرجال
o   Muhammad bin Ahmad az-Zahabi. ميزان الإعتدال في نقد الرجال
o   Ibnu Hajar al-‘Asqalani ميزان الميزان
o   Bahsyal (Abul-Hasan Aslam bin Syahl) al-Wasiti (wafat 288 H) تاريخ الواسط
o   Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Shahih al-Bukhari. "مختصر طبقات علماء أفريقية وتونس
o   Ahmad bin ‘Ali al-Asfahani (wafat 428 H). رجال صحيح مسلم
o   Ibnul-Qaisarani (Muhammad bin Tahir ar-Maqdisi) (wafat 507H). "الجمع بين رجال الصحيحين"  Kitab tersebut membahas khusus para periwayat hadis di Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.
o   Muhammad bin Yahya at-Tamimi (wafat 416 H). Khusus membahas perawi di Kitab al Muwaththa’ "التعريف برجال الموطاء"
o   ‘Abdul-Gani al-Maqdisi (wafat 600 H). kitab tersebut merupakan perintis kitab Rijal yang membahas para periwayat al-Kutubus Sittah . "الكمال في معرفة الرجال"
o   Abu-Hajjaj Yusuf bin az-Zaki al-Mizzi (wafat 742 H) تهذيب الكمال
o   ‘Alaud-Din Muglataya (wafat 762 H). اكمال تهذيب الكمال
o   Muhammad bin Ahmad az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M). تهذيب التهذيب
o   Muhammad bin Ahmad az-Zahabi. الكاشف في معرفة من له رواة في الكتب الستة
o   Ibnu Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H/1449 M). تهذيب التهذيب & تقريب التهذيب
o   Saifud-Din Ahmad ‘Abdillah al-Khazrahji (wafat 924 H) خلاصة تذهيب تهذيب الكمال
o   Muhammad bin Sa’id al-Qusyairi  .تاريخ الرق
o   Abu ‘Abdillah ‘Abdul-Jabbar ad-Darani (wafat 370 H).  تاريخ داريا
o   Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdillah al-Asbahani (wafat 430 H).  ذكراخبار الأصفهان
o   Abul-Qasim Hamzah bin Yusuf as-Sahmi (wafat 427 H). تاريخ جرجان
o   Ahmad bin ‘Ali bin Sabit al-Khatib al-Bagdadi (wafat 463 H).  تاريخ ﺒﻐداد
o   Ibnu Abi Hatim ar-Razi (wafat 328 H).  علل الحدﻳﺚ
o   Ahmad bin Hambal.  العلل و معرفة الرجال
o   Ibnul-Madini (wafat 234 H) . العلل
o   at-Turmuzi (wafat 279 H/892 M).  العلل الكبير & العلل اﻟﺼﻐﻳر
Daraqutni (wafat 385 H/995 M).[20]  العلل الواردة


[1] M. Rasir Ibrahim, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Apollo, t. t), h. 105.
[2] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II; PT. Bumi Aksara, Jakarta: 2002), h. 208
[3] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin, t.t.), h.110. 
[4] M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian, op.cit., h. 28.
[5] Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.cit., h. 28.
[6] M. Syuhudi Ismail,  Metodologi Penelitian hadis Nabi(Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.72.
[7] Ibid.
[8] Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif,  Ilmu Jarh wa Ta’dil,  diterjemahkan oleh A. zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya(cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), h. 40.
[9] M. Syuhudi Ismail., h. 78.
[10] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 52
[11] Ibid., h. 80.
[12] Ibid., h. 81.
[13] Ibid., h. 61 
[14] Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil,op.t., h. 62.
[15] Ibid., h. 64 
[16] Ibid., h. 67. 
[17] Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, op.ci.t., h. 68-73
[18] Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalahul Hadis (Cet.I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), h. 292.
[19] Lihat, M. Ajjaj al-Khatib,  Ushul al-Hadis’Ulumuhu wa Mushthalahahu  (Beirut: Darul Fikr, 1989), h.225
[20] Lihat Mahmud at-Tahhan, Usul at-takhrij wa Dirasat al-Asanid (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1978). h. 168-206



@



0 comments:

ILMU RIJAL AL-HADIS