akademisi

makalah ilmu qira'at

PENDAHULUAN
Bagian makna yang pertama yang memunculkan pengucapan adalah bunyi, kemudian bunyi dipenggal-penggal menjadi sebuah huruf. Tatkalah huruf-huruf itu dikumpulkan, jadilah kata. Kemudian tatkala beberapa huruf itu menyatu menurut aturan tertentu jadilah ia bahasa Arab. Melalui huruf yang disusun secara teratur muncullah mu’rab. Beberapa aspek I’rab ditetapkan, jadilah ia bacaan yang dikaitkan pada Qira`ah-Qira`ah yang tujuh…………….[1]
“Pengucapan adalah bunyi” dan “bacaan yang dikaitkan pada Qira`ah-Qira`ah yang tujuh” merupakan dua kalimat yang mengandung maksud adanya keilmuan khusus dalam memahami suatu teks Al-Qur`an yaitu Qira`at dan Tajwid. Kedua keilmuan ini akan tetap berkembang selama teks ayat-ayat Al-Qur`an masih dibaca,diperdengarkan dan direnungkan isi kandungannya yang berjalan secara teratur dan indah sesuai dengan apa yang kita pahami dan inginkan. Qira`at merupakan aplikasi dari pemahaman teori yang berada dalam ranah tajwid. Sebab, dalam kaidah-kaidah hokum tajwid akan tetap berada pada porosnya dan tidak berubah. Keilmuan tajwid diwujudkan dengan adanya bacaan dan pengucapan berdasarkan apa yang telah menjadi hokum pokok ilmu tajwid.
Perbedaan cara membaca Al-Qur`an telah tercatat dalam sejarah sebagai ijtihadi antar pembaca Al-Qur`an. Namun, perbedaan yang ada ternyata memunculkan konflik seprti adanya saling mengkafirkan satu sama lain sehingga memberikan dorongan kepada pemimpin Islam kala itu untuk menyeragamkan bacaan Al-Qur`an yakni masa khalifah Utman bin Affan. Perbedaan yang ada dikarenakan pada kondisi Al-Qur`an yang dulunya tidak dituliskan secara utuh sebagaimana mushaf saat ini. Akan tetapi, walaupun sekarang ini sudah terdapat mushhaf al-Qur`an yang begitu beragam jenisnya tetap saja terdapat perbedaan Qira`at. Perbedaan Qira`at semacam ini seharusnya tidak menjadikan konflik yang berujung pada status keimanan seseorang, dan harus menjadi perhatian terutama terhadap perbedaan tajwid yang masih mempengaruhi dalam perbedaan Qira`at juga sehingga dibutuhkan adanya perhatian penuh akan hal ini terkait hubungan antara Qira`at dan Tajwid yang titik pembahasannya pada apakah semua Qira`at berkembang saat ini memiliki standart tajwid. Sebab, salah satu obyek kajian dari keduanya adalah hal yang sama yaitu lafadz-lafadz Al-Qur`an.

PEMBAHASAN
A.      Al-Qur`an dan Qira`at
1.      Pengertian Al-Qur`an dan Qira`at
Secara etimologi Qur`an dan Qira`at berasal dari akar kata yang sama dan merupakan bentuk mashdar dari kata  قرأيقرأقرأة - قرأنا  yang berarti bacaan, menghimpun dan mengumpulkan. Menghimpun dan memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya. Namun, keduanya memiliki titik pembahasan yang berbeda.
Secara istilah baik para ulama ushul, ulama fiqh, pakar bahasa Arab maupun ulama mutakallimin sependapat bahwa pengertian pengertian pokok yang terkandung dalam istilah al-Qur’an adalah: lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an_nas.
Secara etimologis lafad qira’at merupakan bentuk masdar dari qara’a, yang artinya adalah bacaan. Lafadz قراأت dalam lensa bahasa Arab merupakan bentuk plural dari kata قرأة yang tidak lain adalah bentuk mashdar dari kata قرأيقرأقرأة  yang berarti bacaan. Suatu ilmu yang mempelajari sistem dokumentasi tertulis dan artikulasi lafadz al-Qur`an[2]
Sedangkan secara terminology :
a.  Abu Syams al-Dimasyqi (w. 665 / 1266)
عِلْمُ الْقرَاأَتِ عِلْمٌ بِكَيْفِيَةِ أَدَاء كَلِمَاتِ الْقُرْأنِ وَاخْتِلَافِهَا مَعْزُوًّا لِنَاقِلِهِ
“Ilmu Qira`at adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari cara melafadzkan kosa kata al-Qur`an dan perbedaan yang disandarkan para perawi yang mentransmisikannya.”
b.  Az-zarkasy
وَاعْلَمْ أَنَّ الْقُرْأنَ وَالْقِرَاأَتِ حَقِيقَتَانِ مُتغَايِرَتَانِ . فَالْقُرْأَنُ هُوَ الْوَحْيُ الْمُنَزَّلُ عَليَ مُحَمَّدٍ لِلْبَيَانِ وَ الإِعْجَازِ , وَالْقِرَاأتُ هِيَ إِخْتِلَافُ أَلْفَاظِ الْوَحْيُ الْمَذْكُوْرِ فِيْ كِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ كَيْفِيَتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَ تَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهِمَا


2.      Perbedaan Al-Qur`an dan Qira`at
Pertama, Al-Zarkasyī berpendapat bahwa, “ Al-Qur’an dan qiraat adalah dua hakikat yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai bukti kerasulan dan mukjizat. Sementara qirā’at adalah perbedaan lafadh-lafadh tersebut, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun tata cara pengucapaannya.[3]
Pendapat Imam Az-Zarkasyi tersebut ditolak oleh Dr. Muhammad Salim Muhaisin yang berpendapat bahwa Al-Qur’an dan dan qiraat adalah dua hal yang pada hakikatnya satu. Beliau menjelaskan bahwa kata قران adalah sinonim dari kata  قراءت yang kata jama’nya قراءات dan keduanya mempunyai makna yang sama.  Beliau menyimpulkan uraiannya dengan kalimat: “Semuanya menunjukkan dengan jelas dan pasti bahwa tidak ada perbedaan antara Al-Qur’an dengan qiraat karena keduanya sama-sama wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.[4]
Kedua, Jumhur ulama dan para ahli qira’at berpendapat bahwa, jika qira’at itu diriwayatkan dengan sanad yang shahīh, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak menyalahi rasm al-mushaf, maka qiraat tersebut tergolong al-Qur’an. Akan tetapi bilamana tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka hanya tergolong qirā’at semata.
Ketiga, Ibn Daqīq al-Id sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hādī al-Fadlī menyatakan bahwa setiap qira’at tergolong al-Qur’an, termasuk qirā’at syāzzat.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya qirā’at dan al-Qur’an merupakan dua substansi yang berbeda. Namun demikian, qira’at bisa digolongkan kepada al-Qur’an bilamana memenuhi persyaratan berikut:
a)      Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab
b)      Qira’at tersebut tidak menyalahi rasm al-mushaf
c)      Qira’at tersebut bersumber dari Nabi saw. melalui sanad yang shahīh, serta diriwayatkan secara mutawātir. [5]
B.     Qira`at dan Tajwid
Secara bahasa tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu mengucapkan setiap huruf (al-Qur’an) sesuai dengan makhraj-nya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.
Sementara itu sebagian ulama lainnya mengemukakan definisi tajwīd sebagai berikut:[6] “Tajwid yaitu mengucapkan huruf (al-Qur’an) dengan tertib menurut yang seharusnya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta menghaluskan pengucapannya dengan cara yang sempurna, tanpa berlebihan, kasar, tergesa-gesa, dipaksakan.”
1.    Hubungan Qira`at dan Tajwid
Dalam tajwid terkandung hukum bacaan yang bermacam. Namun, bagaimana kita mengetahui kalau itu mad, idgham atau hukum bacaan lainnya jika tanpa dibacakan. Istilah pembacaan Al-Qur`an disebut sebagai qira`at. Tajwid mengandung pembahasan akan makhraj dan sifat huruf-huruf dalam Al-Qur`an. Sedangkan Qira`at merupakan bacaan yang dinisbatkan kepada imam Qira`at.[7] Dengan memperhatikan pengertian tajwīd sebagaimana disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara qirā’at dengan tajwīd adalah sebagai berikut: Qirā’at adalah cara pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an yang berkenaan dengan substansi lafaz, kalimat, ataupun dialek kebahasaan. Sedangkan tajwīd yaitu, kaidah-kaidah yang bersifat teknis dalam upaya memperindah bacaan al-Qur’an, dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya.[8]
Tidak dapat dipungkiri bahwa kaum muslimin lebih akrab dengan istilah ilmu tajwid dari pada ilmu qiraat. Hal ini dimaklumi, karena memang materi ilmu tajwid sering dijelaskan kepada pelajar lebih-lebih para pemula yang ingin membaca al-Qur`an. Bahkan sebaliknya, masyarakat awam relatif asing dengan istilah ilmu Qira`at. Ilmu Qira`at dan Tajwid memang dua buah realitas yang berbeda. Abu Hamid al-Ghazali (450-505 / 1058-1111) mengatakan bahwa perbedaan kedua ilmu ini bisa diketahui dari obyek kajian masing-masing. Menurutnya, obyek kajian ilmu Qira`at adalah variasi I’rab lafadz-lafadz al-Qur`an sedangkan obyek kajian ilmu Tajwid adalah cara artikulasi teknis melafadzkan makharih al-huruf (tempat keluarnya huruf yang terdapat di organ verbal manusia) pada redaksi ayat al-Qur’an.
Masih menurut al-Ghazali, dilihat dari sisi seberapa dekatnya posisi masing-masing dengan mutiara al-Qur`an. Dari sepuluh hirarki ulum al-diniyyah (ilmu-ilmu agama) yang menurutnya muncul dari al-Qur`an , al-Ghazali membaginya menjadi ilm al-Qasyr ilmu kulit,ilm al-lubab (intisari),  ilm tajwid. Dari ilmu tersebut ilmu tajwid diposisikan paling rendah. Dengan kata lain, orang yang baru menguasai ilmu tajwid merupakan ilmu orang yang menguassai ilmu paling dasar. Sementara ilmu qira`at diposisikan tiga tingkat di atas ilm tajwid dan berada dalam satu tingkat di bawah ilmu tafsir. Dari uraian al-Ghazali, dapat diketahui bahwa keberadaan ilmu qiraat sangat dekat dengan ilmu tajwid. Hal ini memeprkuat keterangan yang terdahulu bahwa aspek aksiologi ilmu Qira`at adalagh sebagai kunci untuk memasuki ilmu tafsir.
Nilai guna ilmu Qira`at adalah sebagai salah satu instrument untuk mempertahankan orisinalitas al-Qur`an yang sekaligus sebagai kunci memasuki ilmu tafsir, maka nilai guna ilmu tajwid adalah untuk menghindari kesalahan-kesalahan membaca lafadz-lafadz al-Qur`an.
Metode periwayat dan pengamalan ilmu Qira`at adalah melalui riwayat yang berasal dari rasulullah, sedangkan ilmu tajwid adalah dengan banyak berlatih lisan untuk melafadzkan makharij al-huruf
Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan antar keduanya secara rinci:
Aspek Filosofis
Ilmu Qira`at
Ilmu Tajwid
Ontologi
Al-Qur`an dari segi artikulasi lafadz
Al-Qur`an dari segi teknis artikulasi Al-Qur`an
Epistimologi
Riwayat dari Rasulullah
Organ vocal untuk artikulasi makharij al-huruf secara benar
Aksiologi
Mempertahankan orisinalitas Al-Qur`an dan instrument untuk memasuki ilmu tafsir
Menghindari kesalahan membaca lafadz al-Qur`an




2.    Perbedaan Tajwid antar Qira`at
Secara umum, kaidah ke-tajwid-an antar imam qira`at adalah sama, tidak ada perbedaan. Namun, tetap terdapat perbedaan yang mencolok[9]. Karena hakikatnya Tajwid adalah aturan teknis yang berlaku dalam sebuah madzhab Qira`at seperti cara membaca idgham, saktah, isymam, imalah, naql di mana madzhab qira`at memiliki cara yang berbeda dalam menerapkannya.[10] Terkait hal ini dalam Ilm Tajwid terdapat kaidah yang dapat menjadi tolok ukur perbandingan tajwid antar qira`at dan membedakan dari sisi mana saja perbedaan tajwid tersebut. Adapun Kaidah-kaidah Tajwid terbagi menjadi dua, yaitu[11]
a.       Kaidah yang bersifat mendasar, pokok dan pasti
Kaidah ini bersifat tetap dan mendasar seperti halnya suatu huruf yang baik depan, tengah maupun belakang memiliki ketetapan yang pasti tanpa melihat ada sikon yang melingkupinya. Hakikat makhraj huruf dipahami sebagai hokum tajwid yang bersifat mendasar, pokok, dan pasti[12]
b.      Kaidah yang bersifat tidak baku
Makhraj huruf dipahami dan diyakini kebenarannya  sebagai hokum atau kaidah dalam ilmu tajwid yang bersifat pokok. Namun, hukum atau kaidah tetap menjadi kaidah yang tidak dapat dipahami bila tidak dilafadzkan (tentunya) melalui pengucapan, bacaan yang disebut Qira`at. Kaidah semacam ini merupakan perkembangan cara baca dari kaidah yang sudah berlaku sebagai kaidah dasar dan bergantung kepada siapa yang membaca seperti hokum tafkhim, tarqir, dan lain-lain. [13]
Berikut beberapa perbedaan tajwid yang diparktekkan oleh imam Qira`at:
1.      Idzhar yaitu bacaan jelas. Telah disepakati oleh imam qira`at bahwa huruf-hurufnya berjumlah enam yaitu hamzah, ha, ‘ain, ha`, ghain dan kha`. Namun, imam  Abu Ja’far lebih mengkhususkan huruf ghain dan kha       sebagai bacaan yang ikhfa`[14]
2.      Idgham bighunnah
Imam Hamzah membaca tanpa dengung pada nun sukun atau tanwin yang bertemu ya` dan wawu. Sedangkan Al-Kisa`I hanya membaca tanpa dengung pada ya`[15]
3.      Mad dan Qashar
Mad menurut bahasa berarti زيادة sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 125 يُمْدِدْكُمْ رَبُكُمْ difahami يُزْدْكُمْ. Sedangkan menurut istilah ahli Qurra` berarti memanjangkan suara (ayat Al-Qur`an) karena adanya huruf mad. Qashar menurut bahasa berarti menghalangi, mencegah, atau menahan seperti firman Allah حُوْرٌ مَقْصُوْرَاتٌ فِيْ الْخِيَامِ . secara Istilah adalah meneguhkan (menahan) huruf mad agar tidak terbaca panjang. [16]
Sabab dalam mad adalah adanya huruf-huruf mad, sedangkan yang dimaksud dengan syarat dalam mad adalah syarat yang mengiringi dan mewajibkan huruf-huruf mad tersebut dibaca panjang seperti hamzah berada setelah huruf berharakat fathah, ya` setelah kasrah, dan wawu setelah dhammah.
Ibn Al-Jazari telah menyebutkan bahwa mad adalah المد اتفاق و الزيادة إختلاف yakni Kesepakatan imam Qira`at untuk memanjangkan bacaan terkait, dan ikhtilaf atau ketidaksepakatan dalam hal kadar atau ukuran panjang. Sebagaimana contoh:
-          Mad Wajib Muttashil, yakni bacaan mad yang mana antara sabab dan syarat bertemu jadi satu atau dalam satu kalimat atau bertemunya bacaan Qashar (bacaan sepanjang dua harakat) dengan huruf hamzah dalam satu kalimat. [17]Mad ini disebut sebagai mad wajib muttashil karena imam Qira`at telah sepakat memanjangkan bacaan sebanyak 2,5 alif atau 5 harakat. Namun, anatar iamam qira`at berbeda dalam ukuran panjang bacaan sebagaimana imam Warasy dan Hamzah membaca mad ini sebanyak 3 alif; ‘Ashim membaca 2 - 2,5 alif; Qalun, Ibn Katsir dan Abu ‘Amr membaca 1,5 – 2 alif.[18] Sebagaimana contoh
عم يتساءلون ,  النَّسِيْئَ , اُولئك عليهم لعنة الله ,
-          Mad Jaiz Munfashil yaitu mad yang terpisah syaratnya, atau bertemunya hamzah dengan bacaan qashar tidak dalam satu kata[19] Yaitu huruf mad yang tidak berada dalam satu kaimat seperti huruf mad berada di akhir kalimat satu sedangkan hamzah berada di awal kalimat berikutnya. Disebut sebagai jaiz karena imam Qira`at boleh membacanya panjang dan boleh pula pendek seperti Ibn Katsir, dan As-Susi membaca dua wajah yakni membaca pendek, dan membaca panjang. Sedangkan ukuran panjang yang disepakati adalah 2, 4, dan 6 harakat, dari ukuran yang bervarian ini membolehkan pembaca untuk memilih.
Antara mad wajib muttashil dan mad jaiz munfashil memiliki ukuran panjang membaca yang sama. Keduanya disepakati panjang bacaan maksimal 6 harakat dan minimal 3 harakat untuk muttashil serta 2 harakat untuk munfashil.  Qalun, Ibn Katsir dan Abu ‘Amr membaca qashar mad jaiz munfashil, dan membaca mad pada mad wajib muttashil. Sedangkan Qalun dan Ad-dauri memiliki ukuran sendiri yakni memanjangkan keduanya 3-4 harakat. Ibn Amir, Kisa`I, dan ‘Ashim membaca panjang keduanya 4 harakat, ‘Ashim 5 harakat. Contoh:
 و اهلكم نارا  يايها الذين امنوا قوا انفسكم
4.      Idgham Kabir, yaitu bertemuanya dua huruf yang mana makhraj atau sifatnya berdekatan atau sejenis dan huruf pertama dibaca sukun. Dalam hokum ini berlaku idgham seperti Abu ‘Amr, Hamzah, Kisa`I, Khalaf, dan Hisyam. Namun, terdapat imam Qira`at yang membacaanya secara idzhar atau jelas seperti nafi’, Ibn Kastir, ‘Ashim, Abu ja’far, dan Ya’qub. Contoh: اِذْ تَبَرَّأَ
5.      Ra` Tafkhim-Tarqiq
Semua telah sepakat bahwa salah satu syarat Ra`dibaca  Tafkhim adalah berharakat fathah atau dhammah. Sebaliknya, Ra` tarqiqi hanya teruntukkan ra` yang dibaca kasrah. Namun, Ad-Dani membaca ra` fathah dengan tarqiq[20]  


























DAFTAR PUSTAKA
·         Akaha, Abduh Zulfidar. Al-Qur’an dan Qiroat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996.
·         Al-jazari, Ibnu Yusuf. Taqrib al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr . Kairo: Dar al-Shahabah. 2002
·         al-Juraisy, Muhammad Makki Nashr Nihayah al-Qaul al-Mufid fi ‘Ilm Tajwid al-Qur`an al-Mujid. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2003.
·         Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2013.
·         Az-Zarkasyi, Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdillah Al-Burhan fi ‘Ulūm Al-Qur`an. Beirut: Dar al-Ma’RIFAH, 1391
·         Djunaedi,Wawan Sejarah Qira`at Al-Qur`an di Nusantara. Jakarta: Pustaka STAINU. 2008
·         Hasanuddin AF. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1995.
·         Ismail, Sya’ban Muhammad. Mengenal Qiraat Al-Qur’an. Dina Utama
·         Su’ad Abdul Hamid, Taysir al-Rahman fi Tajwid al-Qur`an . Riyadh: Dar al-Taqwa
·         Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur`an: Kritik terhadap Ulumul Qur`an Yogyakarta: LKiS, 2013




[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur`an: Kritik terhadap Ulumul Qur`an (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 309
[2] Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdillah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulūm Al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Ma’RIFAH, 1391), Jilid 1, hlm. 318
[3] Abduh Zulfidar Akaha, Al-Qur’an dan Qiroat , (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm. 119.
[4] DR. Sya’ban Muhammad Ismail, Mengenal Qiraat Al-Qur’an, (Dina Utama Semarang), hlm. 24-25.
[5] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 115-117.
[6] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm. 265.
[7] Wawancara dengan Bapak Abdul Jalil pada Jum’at, 8 Mei 2015 pukul 10.15 WIB

[8] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 117-119.
[9] Wawancara dengan Bapak Abdul Jalil pada Jum’at, 8 Mei 2015 pukul 10.15 WIB
[10] Wawan Djunaedi, Sejarah Qira`at al-Qur`an di Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU, 2008) hlm. 157
[11] Wawancara dengan Bapak Abdul Jalil pada Jum’at, 8 Mei 2015 pukul 10.15 WIB
[12] Su’ad Abdul Hamid, Taysir al-Rahman fi Tajwid al-Qur`an  (Riyadh: Dar al-Taqwa, ) hlm. 25
[13] Muhammad Shadiq Qamhawi,  Al-Burhan fi Tajwid al-Qur`an  (Beirut: Maktabah  al-Tsaqafiyyah,), hlm. 5
[14] Ibnu Yusuf Al-jazari, Taqrib al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr  (Kairo: Dar al-Shahabah, 2002), hlm. 86
[15]  Ibnu Yusuf Al-jazari, Taqrib al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr  (Kairo: Dar al-Shahabah, 2002), hlm. 87
[16] Muhammad Makki Nashr al-Juraisy, Nihayah al-Qaul al-Mufid fi ‘Ilm Tajwid al-Qur`an al-Mujid (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm.  129
[17] Wawan Djunaedi, Sejarah Q ira`at Al-Qur`an di Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU, 2008), hlm. 126
[18]  Muhammad Makki Nashr al-Juraisy, Nihayah al-Qaul al-Mufid fi ‘Ilm Tajwid al-Qur`an al-Mujid (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm.  133
[19] Ibid, hlm. 126
[20] Ibnu Yusuf Al-jazari, Taqrib al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr  (Kairo: Dar al-Shahabah, 2002), hlm. 108



@



0 comments:

makalah ilmu qira'at