ilmu tajwid
A.
Pendahuluan
Ibn Khaldun sebagaimana dikutip oleh
Ingrid Mattson menyatakan bahwa pengajaran al-Qur`an kepada anak-anak merupakan
simbol Islam. Orang Islam masih melakukan pengajaran semacam itu di berbagai
kota untuk menanamkan keyakinan yang kuat kepada Islam dan rukun iman yang
bersumber dari ayat al-Qur`an dan hadis Nabi.[1]
Oleh karena itu, nampak bahwa pengajaran al-Qur`an merupakan salah satu upaya
menanamkan nilai-nilai keislaman. Inilah –mungkin- yang disebut Quraish Shihab
dengan istilah ‘membumikan al-Qur`an’.
Salah satu bentuk pengajaran al-Qur`an
yang patut diajarkan kepada anak sejak usia dini adalah cara membaca al-Qur`an
yang baik dan benar, yang kemudian dinamakan dengan tajwid. Hal tersebut
bukanlah tanpa alasan, sebab, pada dasarnya dalam membaca al-Qur`an dibutuhkan
ilmu tersendiri yang berbeda dengan bacaan-bacaan Arab lainnya, seperti panjang
pendeknya huruf, waqaf dan ibtida` (berhenti dan memulai bacaan),
serta cara-cara pelafalan huruf (makharij al huruf).
Berdasarkan paparan tersebut, nampaklah
urgensi ilmu tajwid dalam pengajaran al-Qur`an. tetapi, sebelum mengkaji ilmu
tajwid dalam tataran praktis-aplikatif, alangkah baiknya jika terlebih dahulu
dipahami ilmu tajwid dari segi historisitasnya. Oleh karena itu, dalam tulisan
ini akan dikaji tinjauan umum ilmu tajwid meliputi pengertian, objek kajian,
sejarah serta perkembangan ilmu tajwid.
B. Pengertian Ilmu Tajwid
Secara bahasa, kata tajwid merupakan
bentuk mashdar dari kata jawwada yang berarti memperbaiki/memperindah
(at tahsin).[2]
Sedangkan menurut istilah, tajwid adalah:
إخراج كل حرف من
مخؤجه وإعطاءه حقّه ومستحقّه من الصفات
“Mengucapkan setiap huruf dari tempat keluarnya serta
memberikan haq dan mustahaq dari sifat-sifatnya”.[3]
Haq huruf adalah sifat-sifat yang
lazim pada huruf seperti hams, jahr, syiddah, rakhawah,
dll.[4]
Sedangkan mustahaq huruf adalah sifat-sifat huruf yang tidak tsabit
padanya yang sekali-kali ada dan sekali-kali tidak ada. Di antaranya sifat tarqiq
yang muncul dari sifat istifal[5]
atau sifat tafkhim yang muncul dari sifat isti’la, ikhfa, mad,
qashr, dll.[6]
Menurut
as-Suyuthi, tajwid adalah hiasan bacaan, yaitu memberikan kepada setiap huruf
hak-haknya dan urutan-urutannya serta mengembalikan setiap huruf kepada makhraj
dan asalnya, melunakkan pengucapan dengan keadaan yang sempurna, tanpa
berlebih-lebihan dan memaksakan diri.[7]
Oleh karena itu,
ilmu tajwid adalah ilmu yang mempelajari tentang pemenuhan haq dan mustahaq
huruf meliputi tempat keluar huruf (makhraj) dan sifat-sifatnya.[8]
Sebenarnya, tata cara pembacaan al-Qur`an sesuai dengan haq dan mustahaq
huruf telah termaktub dalam al-Qur`an Surah al-Isra ayat 106:
“Dan al-Quran itu telah
Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan
kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”
Ayat
tersebut menunjukkan adanya tata cara atau sifat tertentu dalam membaca
al-Qur`an yang telah diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad Saw dan kemudian
dirangkum oleh para ulama, hingga mereka mengistilahkannya dengan ilmu tajwid.[9] Selain ilmu tajwid, ilmu tentang tata cara
membaca al-Qur`an dikenal juga dengan nama fannut tartil dan haqqut
tilawah.[10]
Urgensi pembacaan al-Qur`an dengan tajwid
dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu, pertama, adanya riwayat yang
memerintahkan untuk membaca al-Qur`an dengan tajwid, sebagaimana yang dikutip
oleh as-Suyuthi[11] dalam
kitab ad-Dani bahwa Ibn Mas’ud berkata: Bacalah al-Qur`an dengan tajwid.
Kedua, menjaga lidah dari lahn (kesalahan) ketika membaca al-Qur`an.[12]
Sebab, ulama menganggap bacaan tanpa tajwid sebagai lahn (kesalahan). Lahn
ada dua macam yaitu jali dan khafi. Lahn yang jali adalah
kesalahan yang tampak jelas dan diketahui oleh ahli qiraah dan orang
lain. Sedangkan lahn khafi adalah kesalahan yang samar yang hanya
diketahui oleh ahli qiraah dan orang yang mahir bacaan al-Qur`annya.[13]
C. Objek Kajian Ilmu Tajwid
Secara umum, pokok bahasan ilmu tajwid
adalah lafadz-lafadz al-Qur`an.[14]
Oleh karena itu, ilmu tajwid merupakan ilmu yang berhubungan dengan al-Qur`an
yang memiliki karakteristik tersendiri. Dengan mempelajari ilmu tajwid, maka
akan mengurangi celah kesalahan dalam membaca al-Qur`an. selain itu, dengan
menggunakan tajwid akan mengantarkan kepada pembacaan al-Qur`an secara tartil
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah Swt dalam Surah al-Muzzammil ayat 4:
… È@Ïo?uur
tb#uäöà)ø9$#
¸xÏ?ös?
ÇÍÈ
“Dan
bacalah al-Qur`an itu dengan perlahan-lahan.”
Menurut Quraish Shihab dalam tafsir
al-Mishbah, kata rattala dan tartil terambil dari kata ratala
yang berarti serasi dan indah, sehingga tartil al-Qur`an adalah membaca
al-Qur`an dengan pelahan-lahan sambil memperjelas huruf-huruf berhenti dan
memulai (ibtida`) sehingga pembaca dan pendengarnya dapat memahami dan
menghayati kandungan pesan-pesannya.[15]
Lebih terperinci lagi ada tiga cara
membaca al-Qur`an yaitu, pertama, tahqiq, yaitu memberikan kepada setiap
huruf hak-haknya, seperti menyempurnakan mad, menyempurnakan harakat
dengan tidak memberikan sukun kepada huruf yang berharakat, mengeluarkan huruf
sesuai dengan tempatnya, dll. Ulama qiraah yang membaca dengan cara ini
adalah Hamzah dan Warasy.[16]
Kedua, hadr, yaitu bacaan cepat dengan tetap menjaga dan memperhatikan
kaedah-kaedah tajwid dengan cermat, dan hendaknya seorang qari berhati-hati
dari memotong huruf mad, menghilangkan suara ghunnah, atau ikhtilas
(membaca sebagian) harakat.[17]
Ulama qiraah yang menggunakan cara ini adalah Ibn Katsir dan Abu Ja’far.[18]
Ketiga, tadwir, yaitu bacaan yang sedang/tengah antara tahqiq
(perlahan) dan cepat (hadr).[19]
Inilah yang diriwayatkan dari kebanyakan imam qiraah.[20]
Perlu diketahui, dari tiga tingkatan tersebut, istilah tartil mencakup seluruhnya.
Membaca al-Qur`an dengan tartil menurut
beberapa ulama dianjurkan (mustahab) guna mentadabburi ayat-ayat
al-Qur`an, khususnya bagi ‘ajami (non Arab) yang tidak mengetahui makna
al-Qur`an.[21] Bahkan,
sebenarnya bukan hanya untuk ‘ajami saja, tetapi untuk semua umat Islam,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qudamah bahwa para ulama sepakat
mentartilkan dan membaguskan bacaan al-Qur`an adalah sunah.[22]
Membahas
ilmu tajwid, setidaknya mencakup empat hal mendasar, yaitu[23]:
-
Ma’rifah makharij al-huruf, mengenal tempat-tempat keluarnya huruf.
-
Ma’rifah shifatiha, mengenal sifat-sifat huruf.
-
Ma’rifah maa yatajaddadu laha bisababin
at-tarkib min al-ahkam, mengenal hukum-hukum yang muncul bagi huruf dengan
sebab tarkib (susunan huruf dengan huruf lainnya).
-
Riyadhah al-lisan wa katsrah at-tikrar, latihan lidah dan banyak mengulang.
Sedangkan menurut as-Suyuthi, cakupan ilmu tajwid meliputi tata cara
waqaf, imalah, idgham, hukum-hukum hamzah, tarqiq, tafkhim, dan makhraj-makhraj
huruf.[24]
Hal tersebut secara tersirat telah ditekankan oleh Ibn
al-Jazari, beliau berkata:
ولا شكّ أن هذه الأمّة كماهم متعبّدون بفهم معاني القرأن
وإقامة حدوده متعبّدون بتصحيح ألفاظه وإقامة حروفه على الصفة المتلقّاة من أئمّة
القراءة المتّصلة بالحضرة النبويّة الأفصحيّة العربيّة الّتي لا تجوز مخالفتها
“Tidak ada keraguan bahwa umat
ini sebagaimana mereka itu beribadah dengan cara memahami makna al-Qur`an dan
menegakkan hukum-hukumnya, juga beribadah dengan cara memperbaiki
lafadz-lafadznya, dan menegakkan huruf-hurufnya sesuai dengan sifat yang
diambil para imam qiraah yang bersambung sampai kepada Nabi Saw yang bahasa
Arabnya paling fasih, yang kita tidak boleh menyelisihinya.”[25]
D. Sejarah Kemunculan Ilmu Tajwid
Salah satu riwayat yang menjelaskan
tentang tata cara membaca al-Qur`an dengan baik dan benar adalah riwayat yang
disampaikan oleh Musa Ibn Yazid al-Kindi, ia berkata;
كان ابن مسعود
يقرئ القرأن رجلا فقرأ الرجل: انما الصدقت للفقراء والمسكين, مرسلة, فقال ابن
مسعود: ما هكذا أقرأنيها رسول الله, قال: كيف أقرأكها يا أبا عبد الرحمن؟ قال:
أقرأنيها: انما الصدقت للفقراء والمسكين, فمدّها.[26]
“Ibn Mas’ud mengajarkan al-Qur`an kepada seseorang, lalu orang
itu membaca انما الصدقت للفقراء والمسكين (at-Taubah:60)
dengan memendekkan lafadz al-fuqara, maka Ibn Mas’ud berkata: ‘tidak seperti
itu Rasulullah mengajarkan bacaan kepadaku’. Orang itu bertanya: ‘Bagaimana
beliau mengajarkan qiraah kepadamu, wahai Abu Abdurrahman?’ Ibn Mas’ud
menjawab: ‘Beliau membacakannya kepadaku انما الصدقت
للفقراء والمسكين yaitu dengan
memanjangkan lafadz al-fuqara.
Berdasarkan riwayat tersebut, dapat
diketahui bahwa cara membaca al-Qur`an dengan benar telah sejak awal diajarkan
oleh Rasulullah Saw, sehingga jika dilihat dari sisi ‘amaliyah
(praktik), peletak dasar ilmu ini adalah Rasululullah Saw. Selain itu, ada
beberapa hal yang menegaskan hal tersebut, seperti pembacaan al-Qur`an secara
perlahan-lahan (QS. Al-Isra: 106) dan perintah untuk membaca al-Qur`an secara
tartil (QS. Al-Muzzammil: 4). Kemudian, tuntunan bacaan al-Qur`an tersebut
dilanjutkan kepada sahabat, tabi’in, hingga sekarang.
Sedangkan dari sisi nazhariah
(teori), peletak dasar ilmu tajwid adalah para imam qiraah. Para ulama berbeda
pendapat tentang orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar ilmu tajwid.
Ada yang mengatakan Abul Aswad ad-Duali, ada yang berpendapat Abu Ubaid
al-Qasim bin Salam. Ada juga yang berpendapat al-Khalil bin Ahmad. Sedangkan
pendapat yang kuat untuk peletak dasar ilmu tajwid adalah Abu Muzahim Musa bin
Ubaidillah al-Khaqani dengan karyanya yang dikenal dengan nama al-Qashidah
al-Khaqaniyah.[27]
Pendapat ini salah satunya dipegang oleh Ibn al-Jazari yang mengatakan:
هو أوّل من صنّف
في التجويد[28]
“Dia (Abu Muzahim al-Khaqani) adalah orang
yang pertama kali menulis tentang tajwid.”
Tulisan Abu Muzahim tersebut sangat
berpengaruh bagi perkembangan ilmu tajwid pada masa-masa selanjutnya. Hal ini
dibuktikan dengan munculnya ulama-ulama yang menulis karya tentang ilmu tajwid,
seperti[29]:
-
Kitab at-tanbih
‘ala al-lahnil Jali wal Lahnil Khafi, karya Abul Hasan Ali bin Ja’far bin
Muhammad as-Sa’idi ar-Razi (w. 410 H).
-
Kitab ar-Ri’ayah
li Tajwidil Qira`ah wa Tahqiqi Lafdzi at-Tilawah, karya Abu Muhammad Makki
bin Abu Thalib al-Qaisi (w. 437 H).
-
Kitab at-Tahdid
fil Itqan wat Tajwid, karya Abu Amr Utsman bin Sa’id ad-Dani (w. 444 H).
E. Perkembangan Ilmu Tajwid
Seiring dengan perkembangan zaman,
pencetakan al-Qur`an semakin banyak memiliki inovasi-inovasi baru. Salah satu
inovasi dalam pencetakan al-Qur`an juga menyentuh ranah ilmu tajwid. Menurut
Ingrid Mattson[30], pada
awal 1990-an, inovasi penting dalam bidang pencetakan mushaf menyebar cepat di
seluruh dunia Islam. Inovasi itu adalah penemuan sistem penulisan huruf dalam
warna yang berbeda untuk menandakan bunyi yang dikehendaki ilmu tajwid. Sistem
ini dikembangkan oleh seorang insinyur Syiria yang belajar tajwid kepada
seorang ulama di Damaskus. Buku tajwid Qur`an telah disahkan secara resmi oleh
para ulama al-Azhar di Kairo dan diterbitkan oleh Dar al-Ma’rifah. Tajwid
Qur`an ini lebih mudah diakses dan digunakan dibandingkan dengan teks-teks abad
pertengahan seperti karya al-Dani, al-Syatibi, Ibn al-Jazari, dll.
Di Indonesia, perkembangan produksi mushaf
muncul sejak awal dasawarsa 2000-an, ketika teknologi computer semakin maju dan
dimanfaatkan oleh para penerbit. Perubahan itu sangat mencolok dalam hal
kaligrafi teks mushaf.[31]
Salah satunya adalah pewarnaan pada teks al-Qur`an berkaitan dengan tajwid. Hal
ini bertujuan untuk menuntun para pembaca al-Qur`an yang masih awam dalam ilmu
tajwid, dengan memberi warna tertentu terkait hukum bacaan dalam ilmu tajwid.[32]
Selain itu, dalam dunia modern, kajian
ilmu tajwid juga sering dihubungkan dengan fonetik dan fonologi al-Qur`an. Fonetik
adalah ilmu yang membicarakan masalah bunyi tanpa memperhatikan fungsi dan
makna yang dikandung oleh bunyi itu. Bunyi dipelajari sebagai suatu gejala
alami, contoh kajiannya adalah membahas organ bicara, makhraj dan sifat bunyi.[33]
Sedangkan fonologi adalah ilmu bunyi yang
membahas tentang bunyi bahasa tertentu dengan mempertimbangkan fungsi dan makna
yang dikandungnya. Contoh kajiannya adalah modifikasi bunyi: idgham, ikhfa,
imalah, isymam, panjang-pendek, dan waqaf.[34]
F. PENUTUP
Ilmu Tajwid merupakan ilmu yang membahas
tata cara mengucapkan setiap huruf dari tempat keluarnya serta memberikan haq
dan mustahaq dari sifat-sifatnya. Oleh karena itu, secara umum tajwid merupakan
tata cara membaca al-Qur`an dengan baik dan benar. Istilah yang dikenal dalam
membaca al-Qur`an dengan baik dan benar dinamakan tartil.
Sebenarnya pembacaan al-Qur`an dengan
menggunakan kaidah-kaidah tajwid telah dilakukan secara langsung oleh Nabi Saw
dan dilanjutkan secara terus-menerus generasi berikutnya. Tetapi, pada masa itu
belum menjadi satu keilmuan yang utuh menjadi ilmu tajwid. Perkembangan
selanjutnya oleh Abu Muzahim dengan kitabnya al-Qashidah al-Khaqaniyah yang
menurut para ulama menjadi penggagas utama dalam ilmu tajwid. Berkembang lebih
pesat setelah ad-Dani menulis kitab tentang tajwid.
Di era modern, mengkaji tajwid secara
manual dapat ditemukan dalam mushaf-mushaf yang dikreasikan dengan warna-warni.
Di satu sisi, inovasi tersebut dapat menjadi sarana memotivasi umat Islam dalam
belajar tajwid. Tetapi, alangkahbijak jika penggunaan al-Qur`an tajwid tersebut
dibarengi dengan pembelajaran secara langsung (musyafahah dan talaqqi)
kepada guru yang mumpuni dalam bidangnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Silsilah
al-Ahadits as-Shahihah jilid 5 hadis nomor 2237. Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif, t.th.
Ad Dani. at Tahdid fil Itqan wa at
Tajwid. Oman: Dar ‘Ammar, 2000.
Faizin, Hamam. Sejarah Pencetakan
al-Qur`an. Yoyakarta: Era Baru Pressindo, 2012.
Fattah, Abdul. Hidayah al Qari ila
Tajwid Kalam al-Bari. Madinah:
Maktabah Thayyibah, t.th.
al-Hamad, Ghanim Qadduri. al-Muyassar fi
‘Ilm Tajwid. Jeddah: Ma’had Imam asy-Syathibi, 2009.
______________________. Abhats fi ‘Ilm
at-Tajwid. Oman: Dar ‘Ammar, 2001.
Kurnaedi, Abu Ya’la. Tajwid Lengkap
asy-Syafi’I. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2013.
Mattson, Ingrid. Ulumul Qur`an Zaman
Kita, terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman, 2013.
Nasution, Ahmad Sayuti Anshari. Fonetik
dan Fonologi al-Qur`an. Jakarta: Amzah, 2012.
Nawawi, Imam. at-Tibyan fi Adab Hamalah
al-Qur`an. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012.
Salim, Ahmad. Hukum Fikih seputar
al-Qur`an, (ed.). Fahrur Muis & Ferry Irawan. Jakarta: Ummul Qura,
2011.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah Volume 14.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
as-Suyuthi, Jalaluddin. al-Itqan fi
‘Ulum al-Qur`an, terj. Tim Editor Indiva. Surakarta: Indiva Pustaka, 2008.
[1] Ingrid Mattson, Ulumul Qur`an Zaman Kita, terj.
R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Zaman, 2013), hlm. 182
[3] Abu Ya’la Kurnaedi, Tajwid Lengkap asy-Syafi’I
(Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2013), hlm. 39
[4] Contohnya sifat hams yaitu samarnya suara pada
pendengaran akibat terbukanya dua pita suara, tidak adanya getaran pada
keduanya, serta banyaknya napas yang mengalir. Hurufnya terkumpul dalam lafadz فحثّه شخص سكت. Lebih jelas lihat Abu Ya’la
Kurnaedi, Tajwid Lengkap asy-Syafi’I…, hlm. 146
[5] Contohnya huruf alif, jika sebelum huruf alif
huruf isti’la, maka alif-nya tafkhim, seperti lafadz ضاق. Sedangkan jika sebelum alif huruf istifal,
maka alif-nya tarqiq, seperti lafadz جاء. Oleh karena itu,
perlu diperhatikan bagi para pembaca al-Qur`an ketika melafalkan باطل agar tidak mentafkhimkan huruf ba dan alif
dengan melihat huruf isti’la setelahnya. Tetapi, yang benar adalah
melihat pada huruf istifal sebelumnya agar huruf alif dibaca tarqiq.
Lebih lanjut lihat Abu Ya’la Kurnaedi, Tajwid Lengkap asy-Syafi’I
(Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2013), hlm. 198
[7] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`an,
terj. Tim Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hlm. 402
[8] Ghanim Qadduri al-Hamad, al-Muyassar fi ‘Ilm Tajwid,
(Jeddah, Ma’had Imam asy-Syathibi, 2009), hlm. 11
[21] Imam Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur`an,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2012), hlm. 53
[22] Ahmad Salim, Hukum Fikih seputar al-Qur`an,
(ed.). Fahrur Muis & Ferry Irawan, (Jakarta: Ummul Qura, 2011), hlm. 177
[25] Abdul Fattah, Hidayah
al Qari ila Tajwid Kalam al-Bari,
(Madinah: Maktabah Thayyibah, t.th), hlm. 55
[26] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadits
as-Shahihah jilid 5 hadis nomor 2237, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.th),
hlm. 279
@
Tagged @ ilmu tajwid
0 comments:
Post a Comment