PENDAHULUAN
Bagian makna yang
pertama yang memunculkan pengucapan adalah bunyi, kemudian bunyi
dipenggal-penggal menjadi sebuah huruf. Tatkalah huruf-huruf itu dikumpulkan,
jadilah kata. Kemudian tatkala beberapa huruf itu menyatu menurut aturan
tertentu jadilah ia bahasa Arab. Melalui huruf yang disusun secara teratur
muncullah mu’rab. Beberapa aspek I’rab ditetapkan, jadilah ia bacaan
yang dikaitkan pada Qira`ah-Qira`ah yang tujuh…………….[1]
“Pengucapan adalah
bunyi” dan “bacaan yang dikaitkan pada Qira`ah-Qira`ah yang tujuh”
merupakan dua kalimat yang mengandung maksud adanya keilmuan khusus dalam
memahami suatu teks Al-Qur`an yaitu Qira`at dan Tajwid. Kedua keilmuan ini akan
tetap berkembang selama teks ayat-ayat Al-Qur`an masih dibaca,diperdengarkan
dan direnungkan isi kandungannya yang berjalan secara teratur dan indah sesuai
dengan apa yang kita pahami dan inginkan. Qira`at merupakan aplikasi dari
pemahaman teori yang berada dalam ranah tajwid. Sebab, dalam
kaidah-kaidah hokum tajwid akan tetap berada pada porosnya dan tidak berubah.
Keilmuan tajwid diwujudkan dengan adanya bacaan dan pengucapan berdasarkan apa
yang telah menjadi hokum pokok ilmu tajwid.
Perbedaan cara membaca
Al-Qur`an telah tercatat dalam sejarah sebagai ijtihadi antar pembaca
Al-Qur`an. Namun, perbedaan yang ada ternyata memunculkan konflik seprti adanya
saling mengkafirkan satu sama lain sehingga memberikan dorongan kepada pemimpin
Islam kala itu untuk menyeragamkan bacaan Al-Qur`an yakni masa khalifah Utman
bin Affan. Perbedaan yang ada dikarenakan pada kondisi Al-Qur`an yang dulunya tidak
dituliskan secara utuh sebagaimana mushaf saat ini. Akan tetapi, walaupun
sekarang ini sudah terdapat mushhaf al-Qur`an yang begitu beragam jenisnya
tetap saja terdapat perbedaan Qira`at. Perbedaan Qira`at semacam ini seharusnya
tidak menjadikan konflik yang berujung pada status keimanan seseorang, dan
harus menjadi perhatian terutama terhadap perbedaan tajwid yang masih
mempengaruhi dalam perbedaan Qira`at juga sehingga dibutuhkan adanya perhatian
penuh akan hal ini terkait hubungan antara Qira`at dan Tajwid yang
titik pembahasannya pada apakah semua Qira`at berkembang saat ini memiliki
standart tajwid. Sebab, salah satu obyek kajian dari keduanya adalah hal yang
sama yaitu lafadz-lafadz Al-Qur`an.
PEMBAHASAN
A. Al-Qur`an dan Qira`at
1. Pengertian Al-Qur`an dan Qira`at
Secara
etimologi Qur`an dan Qira`at berasal dari akar kata yang sama dan
merupakan bentuk mashdar dari kata
قرأ
– يقرأ
– قرأة
- قرأنا
yang berarti
bacaan, menghimpun dan mengumpulkan. Menghimpun dan memadukan sebagian
huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya. Namun, keduanya memiliki
titik pembahasan yang berbeda.
Secara
istilah baik para ulama ushul, ulama fiqh, pakar bahasa Arab maupun ulama mutakallimin
sependapat bahwa pengertian pengertian pokok yang terkandung dalam istilah
al-Qur’an adalah: lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. mulai dari
surat al-Fatihah sampai akhir surat an_nas.
Secara
etimologis lafad qira’at merupakan bentuk masdar dari qara’a, yang artinya
adalah bacaan. Lafadz قراأت dalam lensa bahasa Arab merupakan bentuk plural dari kata قرأة yang tidak lain adalah bentuk mashdar dari kata قرأ – يقرأ – قرأة yang berarti bacaan.
Suatu ilmu yang mempelajari sistem dokumentasi tertulis dan artikulasi lafadz
al-Qur`an[2]
Sedangkan secara
terminology :
a. Abu Syams al-Dimasyqi (w. 665 / 1266)
عِلْمُ الْقرَاأَتِ
عِلْمٌ بِكَيْفِيَةِ أَدَاء
كَلِمَاتِ الْقُرْأنِ وَاخْتِلَافِهَا مَعْزُوًّا
لِنَاقِلِهِ
“Ilmu Qira`at adalah
sebuah disiplin ilmu yang mempelajari cara melafadzkan kosa kata al-Qur`an dan
perbedaan yang disandarkan para perawi yang mentransmisikannya.”
b. Az-zarkasy
وَاعْلَمْ أَنَّ الْقُرْأنَ
وَالْقِرَاأَتِ
حَقِيقَتَانِ
مُتغَايِرَتَانِ
. فَالْقُرْأَنُ
هُوَ الْوَحْيُ الْمُنَزَّلُ
عَليَ مُحَمَّدٍ لِلْبَيَانِ
وَ الإِعْجَازِ , وَالْقِرَاأتُ
هِيَ إِخْتِلَافُ أَلْفَاظِ
الْوَحْيُ الْمَذْكُوْرِ فِيْ
كِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ
كَيْفِيَتِهَا
مِنْ تَخْفِيْفٍ وَ
تَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهِمَا
2. Perbedaan Al-Qur`an dan Qira`at
Pertama, Al-Zarkasyī
berpendapat bahwa, “ Al-Qur’an dan qiraat adalah dua hakikat yang berbeda.
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai bukti
kerasulan dan mukjizat. Sementara qirā’at adalah perbedaan lafadh-lafadh
tersebut, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun tata cara pengucapaannya.[3]
Pendapat Imam Az-Zarkasyi tersebut ditolak oleh Dr.
Muhammad Salim Muhaisin yang berpendapat bahwa Al-Qur’an dan dan qiraat adalah
dua hal yang pada hakikatnya satu. Beliau menjelaskan bahwa kata قران adalah sinonim dari kata
قراءت
yang kata jama’nya قراءات dan keduanya mempunyai makna yang sama. Beliau menyimpulkan uraiannya dengan kalimat:
“Semuanya menunjukkan dengan jelas dan pasti bahwa tidak ada perbedaan antara
Al-Qur’an dengan qiraat karena keduanya sama-sama wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw.[4]
Kedua, Jumhur ulama dan
para ahli qira’at berpendapat bahwa, jika qira’at itu diriwayatkan dengan sanad
yang shahīh, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak menyalahi rasm
al-mushaf, maka qiraat tersebut tergolong al-Qur’an. Akan tetapi bilamana
tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka hanya tergolong qirā’at
semata.
Ketiga, Ibn
Daqīq al-Id sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hādī al-Fadlī menyatakan bahwa
setiap qira’at tergolong al-Qur’an, termasuk qirā’at syāzzat.
Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya qirā’at
dan al-Qur’an merupakan dua substansi yang berbeda. Namun demikian, qira’at
bisa digolongkan kepada al-Qur’an bilamana memenuhi persyaratan berikut:
a) Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah
bahasa Arab
b) Qira’at tersebut tidak menyalahi rasm
al-mushaf
c) Qira’at tersebut bersumber dari Nabi
saw. melalui sanad yang shahīh, serta diriwayatkan secara mutawātir.
[5]
B. Qira`at dan Tajwid
Secara bahasa tajwid berarti al-tahsin atau
membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu mengucapkan setiap huruf
(al-Qur’an) sesuai dengan makhraj-nya menurut sifat-sifat huruf yang mesti
diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya
yang baru.
Sementara itu sebagian ulama lainnya mengemukakan
definisi tajwīd sebagai berikut:[6]
“Tajwid yaitu mengucapkan huruf (al-Qur’an) dengan tertib menurut yang
seharusnya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta
menghaluskan pengucapannya dengan cara yang sempurna, tanpa berlebihan, kasar,
tergesa-gesa, dipaksakan.”
1. Hubungan Qira`at dan Tajwid
Dalam
tajwid terkandung hukum bacaan yang bermacam. Namun, bagaimana kita
mengetahui kalau itu mad, idgham atau hukum bacaan lainnya jika tanpa
dibacakan. Istilah pembacaan Al-Qur`an disebut sebagai qira`at. Tajwid mengandung
pembahasan akan makhraj dan sifat huruf-huruf dalam Al-Qur`an.
Sedangkan Qira`at merupakan bacaan yang dinisbatkan kepada imam Qira`at.[7]
Dengan memperhatikan pengertian tajwīd sebagaimana disebutkan, maka
dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara qirā’at dengan tajwīd
adalah sebagai berikut: Qirā’at adalah cara pengucapan lafaz-lafaz
al-Qur’an yang berkenaan dengan substansi lafaz, kalimat, ataupun dialek
kebahasaan. Sedangkan tajwīd yaitu, kaidah-kaidah yang bersifat teknis
dalam upaya memperindah bacaan al-Qur’an, dengan cara membunyikan huruf-huruf
al-Qur’an sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya.[8]
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kaum muslimin lebih akrab dengan istilah ilmu tajwid
dari pada ilmu qiraat. Hal ini dimaklumi, karena memang materi ilmu tajwid
sering dijelaskan kepada pelajar lebih-lebih para pemula yang ingin membaca
al-Qur`an. Bahkan sebaliknya, masyarakat awam relatif asing dengan istilah ilmu
Qira`at. Ilmu Qira`at dan Tajwid memang dua buah realitas yang berbeda. Abu
Hamid al-Ghazali (450-505 / 1058-1111) mengatakan bahwa perbedaan kedua ilmu
ini bisa diketahui dari obyek kajian masing-masing. Menurutnya, obyek kajian
ilmu Qira`at adalah variasi I’rab lafadz-lafadz al-Qur`an sedangkan obyek
kajian ilmu Tajwid adalah cara artikulasi teknis melafadzkan makharih
al-huruf (tempat keluarnya huruf yang terdapat di organ verbal manusia)
pada redaksi ayat al-Qur’an.
Masih
menurut al-Ghazali, dilihat dari sisi seberapa dekatnya posisi masing-masing
dengan mutiara al-Qur`an. Dari sepuluh hirarki ulum al-diniyyah (ilmu-ilmu
agama) yang menurutnya muncul dari al-Qur`an , al-Ghazali membaginya menjadi ilm
al-Qasyr ilmu kulit,ilm al-lubab (intisari), ilm tajwid. Dari ilmu tersebut ilmu tajwid
diposisikan paling rendah. Dengan kata lain, orang yang baru menguasai ilmu
tajwid merupakan ilmu orang yang menguassai ilmu paling dasar. Sementara ilmu
qira`at diposisikan tiga tingkat di atas ilm tajwid dan berada dalam satu
tingkat di bawah ilmu tafsir. Dari uraian al-Ghazali, dapat diketahui bahwa
keberadaan ilmu qiraat sangat dekat dengan ilmu tajwid. Hal ini memeprkuat
keterangan yang terdahulu bahwa aspek aksiologi ilmu Qira`at adalagh sebagai
kunci untuk memasuki ilmu tafsir.
Nilai
guna ilmu Qira`at adalah sebagai salah satu instrument untuk mempertahankan
orisinalitas al-Qur`an yang sekaligus sebagai kunci memasuki ilmu tafsir, maka
nilai guna ilmu tajwid adalah untuk menghindari kesalahan-kesalahan membaca
lafadz-lafadz al-Qur`an.
Metode
periwayat dan pengamalan ilmu Qira`at adalah melalui riwayat yang berasal dari
rasulullah, sedangkan ilmu tajwid adalah dengan banyak berlatih lisan untuk
melafadzkan makharij al-huruf
Dari penjelasan di atas dapat diketahui perbedaan
antar keduanya secara rinci:
Aspek Filosofis
|
Ilmu Qira`at
|
Ilmu Tajwid
|
Ontologi
|
Al-Qur`an
dari segi artikulasi lafadz
|
Al-Qur`an
dari segi teknis artikulasi Al-Qur`an
|
Epistimologi
|
Riwayat
dari Rasulullah
|
Organ
vocal untuk artikulasi makharij al-huruf secara benar
|
Aksiologi
|
Mempertahankan
orisinalitas Al-Qur`an dan instrument untuk memasuki ilmu tafsir
|
Menghindari
kesalahan membaca lafadz al-Qur`an
|
2. Perbedaan Tajwid antar Qira`at
Secara
umum, kaidah ke-tajwid-an antar imam qira`at adalah sama, tidak
ada perbedaan. Namun, tetap terdapat perbedaan yang mencolok[9].
Karena hakikatnya Tajwid adalah aturan teknis yang berlaku dalam sebuah
madzhab Qira`at seperti cara membaca idgham, saktah, isymam, imalah, naql di
mana madzhab qira`at memiliki cara yang berbeda dalam menerapkannya.[10]
Terkait hal ini dalam Ilm Tajwid terdapat kaidah yang dapat menjadi
tolok ukur perbandingan tajwid antar qira`at dan membedakan dari sisi mana saja
perbedaan tajwid tersebut. Adapun Kaidah-kaidah Tajwid terbagi menjadi dua,
yaitu[11]
a.
Kaidah
yang bersifat mendasar, pokok dan pasti
Kaidah ini bersifat tetap dan mendasar seperti
halnya suatu huruf yang baik depan, tengah maupun belakang memiliki ketetapan
yang pasti tanpa melihat ada sikon yang melingkupinya. Hakikat makhraj huruf
dipahami sebagai hokum tajwid yang bersifat mendasar, pokok, dan
pasti[12]
b.
Kaidah
yang bersifat tidak baku
Makhraj huruf dipahami
dan diyakini kebenarannya sebagai hokum
atau kaidah dalam ilmu tajwid yang bersifat pokok. Namun, hukum atau
kaidah tetap menjadi kaidah yang tidak dapat dipahami bila tidak dilafadzkan
(tentunya) melalui pengucapan, bacaan yang disebut Qira`at. Kaidah
semacam ini merupakan perkembangan cara baca dari kaidah yang sudah berlaku
sebagai kaidah dasar dan bergantung kepada siapa yang membaca seperti hokum tafkhim,
tarqir, dan lain-lain. [13]
Berikut beberapa perbedaan tajwid yang
diparktekkan oleh imam Qira`at:
1. Idzhar yaitu
bacaan jelas. Telah disepakati oleh imam qira`at bahwa huruf-hurufnya
berjumlah enam yaitu hamzah, ha, ‘ain, ha`, ghain dan kha`. Namun,
imam Abu Ja’far lebih mengkhususkan
huruf ghain dan kha sebagai
bacaan yang ikhfa`[14]
2. Idgham bighunnah
Imam
Hamzah membaca tanpa dengung pada nun sukun atau tanwin yang
bertemu ya` dan wawu. Sedangkan Al-Kisa`I hanya membaca tanpa
dengung pada ya`[15]
3. Mad dan
Qashar
Mad
menurut bahasa berarti زيادة sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 125 يُمْدِدْكُمْ رَبُكُمْ
difahami يُزْدْكُمْ.
Sedangkan menurut istilah ahli Qurra` berarti memanjangkan suara (ayat
Al-Qur`an) karena adanya huruf mad. Qashar menurut bahasa berarti
menghalangi, mencegah, atau menahan seperti firman Allah حُوْرٌ مَقْصُوْرَاتٌ فِيْ الْخِيَامِ . secara Istilah adalah meneguhkan
(menahan) huruf mad agar tidak terbaca panjang. [16]
Sabab dalam mad adalah
adanya huruf-huruf mad, sedangkan yang dimaksud dengan syarat dalam
mad adalah syarat yang mengiringi dan mewajibkan huruf-huruf mad tersebut
dibaca panjang seperti hamzah berada setelah huruf berharakat fathah,
ya` setelah kasrah, dan wawu setelah dhammah.
Ibn Al-Jazari telah menyebutkan bahwa mad adalah
المد
اتفاق و الزيادة إختلاف yakni
Kesepakatan imam Qira`at untuk memanjangkan bacaan terkait, dan ikhtilaf atau
ketidaksepakatan dalam hal kadar atau ukuran panjang. Sebagaimana contoh:
-
Mad
Wajib Muttashil, yakni bacaan mad yang mana antara sabab dan syarat
bertemu jadi satu atau dalam satu kalimat atau bertemunya bacaan Qashar (bacaan
sepanjang dua harakat) dengan huruf hamzah dalam satu kalimat. [17]Mad
ini disebut sebagai mad wajib muttashil karena imam Qira`at telah
sepakat memanjangkan bacaan sebanyak 2,5 alif atau 5 harakat. Namun, anatar
iamam qira`at berbeda dalam ukuran panjang bacaan sebagaimana imam Warasy dan
Hamzah membaca mad ini sebanyak 3 alif; ‘Ashim membaca 2 - 2,5 alif; Qalun,
Ibn Katsir dan Abu ‘Amr membaca 1,5 – 2 alif.[18]
Sebagaimana contoh
عم يتساءلون , النَّسِيْئَ , اُولئك
عليهم لعنة الله
,
-
Mad
Jaiz Munfashil yaitu mad yang terpisah syaratnya, atau bertemunya hamzah dengan
bacaan qashar tidak dalam satu kata[19]
Yaitu huruf mad yang tidak berada dalam satu kaimat seperti huruf mad berada di
akhir kalimat satu sedangkan hamzah berada di awal kalimat berikutnya. Disebut
sebagai jaiz karena imam Qira`at boleh membacanya panjang dan boleh pula
pendek seperti Ibn Katsir, dan As-Susi membaca dua wajah yakni membaca pendek,
dan membaca panjang. Sedangkan ukuran panjang yang disepakati adalah 2, 4, dan
6 harakat, dari ukuran yang bervarian ini membolehkan pembaca untuk memilih.
Antara mad wajib muttashil dan mad
jaiz munfashil memiliki ukuran panjang membaca yang sama. Keduanya
disepakati panjang bacaan maksimal 6 harakat dan minimal 3 harakat untuk muttashil
serta 2 harakat untuk munfashil. Qalun,
Ibn Katsir dan Abu ‘Amr membaca qashar mad jaiz munfashil, dan membaca
mad pada mad wajib muttashil. Sedangkan Qalun dan Ad-dauri memiliki
ukuran sendiri yakni memanjangkan keduanya 3-4 harakat. Ibn Amir, Kisa`I, dan
‘Ashim membaca panjang keduanya 4 harakat, ‘Ashim 5 harakat. Contoh:
و
اهلكم نارا يايها الذين
امنوا قوا انفسكم
4. Idgham Kabir, yaitu
bertemuanya dua huruf yang mana makhraj atau sifatnya berdekatan atau sejenis
dan huruf pertama dibaca sukun. Dalam hokum ini berlaku idgham seperti
Abu ‘Amr, Hamzah, Kisa`I, Khalaf, dan Hisyam. Namun, terdapat imam Qira`at yang
membacaanya secara idzhar atau jelas seperti nafi’, Ibn Kastir, ‘Ashim,
Abu ja’far, dan Ya’qub. Contoh: اِذْ تَبَرَّأَ
5. Ra` Tafkhim-Tarqiq
Semua
telah sepakat bahwa salah satu syarat Ra`dibaca Tafkhim adalah berharakat fathah atau
dhammah. Sebaliknya, Ra` tarqiqi hanya teruntukkan ra` yang
dibaca kasrah. Namun, Ad-Dani membaca ra` fathah dengan tarqiq[20]
DAFTAR
PUSTAKA
·
Akaha,
Abduh Zulfidar. Al-Qur’an dan Qiroat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1996.
·
Al-jazari,
Ibnu Yusuf. Taqrib al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr . Kairo: Dar
al-Shahabah. 2002
·
al-Juraisy,
Muhammad Makki Nashr Nihayah al-Qaul al-Mufid fi ‘Ilm Tajwid al-Qur`an
al-Mujid. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2003.
·
Al-Qattan,
Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
2013.
·
Az-Zarkasyi,
Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdillah Al-Burhan fi ‘Ulūm Al-Qur`an. Beirut:
Dar al-Ma’RIFAH, 1391
·
Djunaedi,Wawan
Sejarah Qira`at Al-Qur`an di Nusantara. Jakarta: Pustaka STAINU.
2008
·
Hasanuddin
AF. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam
Al-Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1995.
·
Ismail,
Sya’ban Muhammad. Mengenal Qiraat Al-Qur’an. Dina Utama
·
Su’ad Abdul
Hamid, Taysir al-Rahman fi Tajwid al-Qur`an . Riyadh: Dar al-Taqwa
·
Zaid,
Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur`an: Kritik terhadap Ulumul Qur`an Yogyakarta:
LKiS, 2013
[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur`an: Kritik terhadap Ulumul Qur`an (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 309
[2] Muhammad bin Bahadir
bin ‘Abdillah az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulūm Al-Qur`an, (Beirut: Dar
al-Ma’RIFAH, 1391), Jilid 1, hlm. 318
[3] Abduh Zulfidar Akaha,
Al-Qur’an dan Qiroat , (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm. 119.
[4] DR. Sya’ban Muhammad
Ismail, Mengenal Qiraat Al-Qur’an, (Dina Utama Semarang), hlm. 24-25.
[5] Hasanuddin AF, Perbedaan
Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 115-117.
[6] Manna’ Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2013), hlm. 265.
[8] Hasanuddin AF, Perbedaan
Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 117-119.
[9] Wawancara dengan
Bapak Abdul Jalil pada Jum’at, 8 Mei 2015 pukul 10.15 WIB
[10] Wawan Djunaedi, Sejarah
Qira`at al-Qur`an di Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU, 2008) hlm. 157
[11] Wawancara dengan
Bapak Abdul Jalil pada Jum’at, 8 Mei 2015 pukul 10.15 WIB
[12] Su’ad Abdul Hamid, Taysir
al-Rahman fi Tajwid al-Qur`an (Riyadh:
Dar al-Taqwa, ) hlm. 25
[13] Muhammad Shadiq
Qamhawi, Al-Burhan fi Tajwid
al-Qur`an (Beirut: Maktabah al-Tsaqafiyyah,), hlm. 5
[14] Ibnu Yusuf Al-jazari,
Taqrib al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr (Kairo: Dar al-Shahabah, 2002), hlm. 86
[15] Ibnu Yusuf Al-jazari, Taqrib
al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr (Kairo: Dar al-Shahabah, 2002), hlm. 87
[16] Muhammad Makki Nashr
al-Juraisy, Nihayah al-Qaul al-Mufid fi ‘Ilm Tajwid al-Qur`an al-Mujid (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm.
129
[17] Wawan Djunaedi, Sejarah
Q ira`at Al-Qur`an di Nusantara (Jakarta: Pustaka STAINU, 2008), hlm.
126
[18] Muhammad Makki Nashr al-Juraisy, Nihayah
al-Qaul al-Mufid fi ‘Ilm Tajwid al-Qur`an al-Mujid (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 133
[19] Ibid, hlm. 126
[20] Ibnu
Yusuf Al-jazari, Taqrib al-nasyr fi al-Qira`at al-‘Asyr (Kairo: Dar al-Shahabah, 2002), hlm. 108
@
Tagged @ ilmu qira'at
0 comments:
Post a Comment