Biografi dan Pemikiran Mahmud Abu Rayyah
1.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara tentang hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat seluruh dunia, dari
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sampai sekarang isinya tetap
sama (tidak ada perubahan baik lafadz maupun maknanya), maka isinya terjamin
atas keotentisitasnya dan para ‘ulamapun telah sepakat atas keotentisitas dan
keeksistensinya. Berbeda dengan al-Qur’an, hadis masih menyimpan teka-teki atas
eksistensinya.[1]
Karena hadis dari Nabi kemudian disampaikan kepada para perawi yang tak
terhitung jumlahnya sehingga hadis tersebut tidak semua perawi mengetahuinya.
Terkadang rawi pertama tidak mengetahui hadis tersebut, tetapi rawi yang lain
mengetahuinya dan begitu seterusnya. Selanjutnya, terkadang rawi-rawi tersebut
oleh ‘ulama dinyatakan terpercaya dan hadisnya dapat diterima, terkadang pula
dinyatakan kidzib sehingga hadis tertolak. Hal inilah, yang membedakan antara
al-Qur’an dan hadis.
Oleh karena itu, pada era klasik hadis-hadis dinyatakan sakral,
‘ulama mutaqaddimin pun tidak mengkritisi kembali. Seolah-olah apabila
bersumber dari hadis maka selesai sudah suatu permasalahan dan mereka langsung
meyakininya. Berbeda dengan ‘ulama mutaakhirin atau kontemporer
yang cenderung lebih mengkoreksi dan mengkritisinya. Pada era kontemporer yaitu
seperti Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan yang lainnya, bahwa hadis tidaklah
dikatakan sakral lagi. Sehingga perlu adanya kajian ulang kembali atas hadis.
Adapun ‘ulama kontemporer yang lebih ekstrim terhadap hadis adalah Mahmud
Abu Rayyah. Yang dikatakan ia seorang intelektual muslim dari mesir yang
culup kontroversi gagasannya. Abu Rayah, sebagai tokoh yang dianggap sepaham dengan
orientalis, walaupun ia sendiri tidak mengakui terpengaruh orientalis sebab ia
tidak mengetahui bahasa lain selain bahasa Arab. Karena karya Ignas Ggolzhiher (seorang orientalis barat)
yang berjudul “Muhammedanische Studien”, belum diterjemahkan kedalam
bahasa arab pada waktu itu.
A. Rumusan
Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas perlu
kiranya kita membahas lebih lanjut mengenai beberapa aspek dari Mahmud Abu
Rayyah yaitu ;
1)
Bagaimana
Biografi/ Riwayat Hidup Mahmud Abu Rayyah?
2)
Bagaimana
pemikiran Mahmud Abu Rayyah terhadap hadis?
B. Tujuan
Penulisan
Untuk mengetahui riwayat hidup Mahmud Abu Rayyah dan pandangan
serta pemikirannya terhadap hadits Nabi Saw.
2.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Mahmud Abu Rayyah
Mahmud Abu Rayyah adalah seorang tokoh muslim yang kontroversial
dari Mesir yang pemikirannya sering dikategorikan sebagai inkar al-Sunnah
modern.[2]
Adapun informasi atas biografi Mahmud Abu Rayyah (selanjutnya panggilannya Abu
Rayyah) sangatlah minim literatur yang menjelaskannya, dikatakan karena Mahmud
Abu Rayyah cenderung kurang disukai oleh kaum muslimin. Karena
pendapat-pendapatnya yang kontroversial dengan ‘ulama lain khususnya dengan
‘ulama mutaqaddimiin. Misalnya Mahmud Abu Rayyah mengkritik atau
meragukan atas keshahihan hadis dari Abu Hurairah ra. Padahal jelas-jelas
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah mayoritas ‘ulama telah
bersepakat mengenai keshahihannya. Menurut kami, minimnya tentang biografi Abu
Rayyah ini dikarenakan Abu Rayyah adalah ‘ulama Khalaf (kontemporer)
sehingga jarang sekali orang-orang mengkajinya secara mendalam.
Adapun mengenai tahun kelahirannya, kami menemukan terdapat
perbedaan. Ada yang mengatakan ia dilahirkan pada tahun 1887[3], dan
dikatakan pula tahun 1889 dan meninggal tahun 1970 (81 tahun).[4]
Tetapi, meskipun berbeda ada beberapa informasi yang menyebutkan bahwa tahun
kelahirannya yang lebih masyhur adalah pada tahun 1889-1970 M. Sejak
kecil, Abu Rayyah telah mengagumi
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida. Karena memang Abu Rayyah merupakan
seorang murid di Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad yaitu sebuah lembaga
yang didirikan oleh Rasyid Ridla.
Diantara karya-karya Mahmud Abu Rayyah yaitu:[5]
1)
Adwa’
Ala’ Al-Sunnah Al Muhammadiyyah .
2)
Din
Allah Wahid: Muhammad Wa al-Masih Akhwani.
B.
Gambaran Umum Kitab Adwa Ala
Al-Sunnah Al- Muhammadiyyah
Diantara karyanya yang fenomenal yaitu Kitab Adwa Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah (Sorotan tentang Sunnah Nabi Mukammad) terbit 1958, kitab
ini merupakan buku histiografi hadis (sejarah hadis). Selain itu, buku
ini berisi dari beberapa bab diantaranya; Membahas tentang sebagian kitab yang
diduga atau menurut Abu Rayyah tidak menyampaikan perkataan dan perbuatan Nabi
SAW, namun merupakan suatu rekayasa yang dilakukan oleh sezaman dengan Nabi dan
generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan hadis. Lebih jauhnya
menurutnya hadis Ahad tidak boleh
diberlakukan pada komunitas muslim sepanjang zaman.[7]
Latar belakang penulisan kitab Adwa Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah ini dilatar
belakangi oleh semangat modernisasi Abu Rayyah untuk mengubah keadaan umat
Islam pada waktu itu, yang terlelap oleh sikap jumud. Hal inilah yang membuatnya merasa perlu adanya penelitian terhadap
hadis tanpa perlu secara otomatis tunduk atau patuh mengikuti teori-teori para
ulama sebelumnya (mutaqaddimin), dengan menerobos taqlid yang
menurutnya hal inilah yang menyebabkan kemunduran umat Islam.[8]
Nama lengkap kitab Abu Rayyah adalah “Adwa Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah Au Difa’a An Al-Hadis”.
C.
Kritik ‘Ulama terhadap Kitab Adwa
Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah Karya Mahmud Abu Rayyah[9]
1) Mustafa al-Siba’i dalam karyanya as-Sunnah
wa Makanatuhu fi at Tasyri al-Islami, Kairo: 1961 mengkritik semua pendapat
Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah tidaklah diterima karena Abu Rayyah mengutip
pendapat dari al-Salabi dan Hamzani yang karyanya tidak dianggap sebagai sumber
yang valid untuk mendapatkan data historis.
2) Sarjana Mekkah syakh Abdurrahman
ibn Yahya hlm 24. (w. 1386) yang berjudul al-Anwar al Kasyifah (1959)
menolak tanggapan Abu Rayyah.
3) Abdur Razzaq Hamzah merupakan
Profesor teologi Makkah. Menulis sebuah buku yang berjudul Zdulumat Abi
Rayyah Imam Adhqa’ as-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo 1959). Dalam kata
pengantarnya, ia tidak mencari sumber-sumber yang jelas. Karena, ketika ia
menulis ia lagi sakit.
4) Muhammad Abu Syuhbah meruapakan
Profesor Al-Azhar, memberikan bantahan dengan cara bertahap dalam Majallat
al-Azhar. Namun, Abu Syuhbah tidak menjelaskan alasannya kenapa ia menolak
atas pernyataan Abu Rayyah.
5) Mustafa al-Siba’i, Sulaiman
an-Nadari, Muhibbudin al-Khatib menulis essai yang berjudul Difa’an
al-Hadis al-Nabawi wa Tafnid Syubahat Khushumihi yang isinya bahwa kitab
Adwa adalah al-Kitab al-Khabits
(buku kotor).
Berbagai macam kritikan yang
menghujat terhadap pemikiran Abu Rayyah. Menurut Hemat kami, hal ini
menunjukkan bahwa para ‘ulama sangat menjunjung tinggi hadis Nabi dan sangat
tidak suka bahkan benci serta menolak terhadap pendapat-pendapat yang tidak
menerima dan mencela hadis Nabi Saw (ingkar sunnah).
D. Pemikiran
Mahmud Abu Rayyah Terhadap Hadis
Pemikiran Abu Rayyah terhadap hadis, dikatakan ia terpengaruh oleh
gagasan Abduh tentang taqlid.[10]
Juga terpengaruh oleh orientalis yaitu Ignaz Goldziher (orientalis
pertama yang melakukan kajian terhadap hadis, karyanya adalah Muhammadanische
Studien).[11]
Sebagai pisau analisisnya Abu Rayyah menggunakan data historis (sejarah)
untuk meneliti hadis. Dikatakan pula bahwa Abu Rayyah dalam mengkaji hadis,
apabila ada hadis yang bertentangan dengan sains maka hadis tersebut
dinyatakan lemah (dhaif).[12]
Menurut hemat kami, mungkin berangkat dari sinilah Abu Rayyah tergugah untuk mengkritik
hadis-hadis.
Berawal dari penelitian hadis, kemudian Abu Rayyah menemukan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang menurutnya terdapat
hadis-hadis yang tidak relevan apabila dikaji terhadap matannya. Misalnya
tentang hadis:
“Bila setan mendengar seruan untuk shalat (adzan ) maka dia lari
seraya terkentut-kentut”.[13]
Abu Rayyah berpendapat bahwa meskipun hadis tersebut sanadnya
shahih,[14]
tetapi menurutnya Nabi Saw tidak mungkin pernah mengucapkan kata-kata yang
tidak pantas, remeh, dan kasar seperti itu. Kegelisahan inilah yang menjadi
awal mula bahwa hadis-hadis yang ada harus dikaji kembali. Ia juga menemukan
sabda-sabda Nabi yang kata-katanya tidak sesuai dengan retorika kenabian.[15]
Adapun secara spesifiknya pemikiran Abu Rayyah sebagai berikut :
1)
Mengenai Masalah Pembukuan
Hadis التدوين الحديث))
Menyalahi pendapat sebelumnya. Abu Rayyah menyatakan bahwa
pencatatan tekstual literatur hadits tidak dapat dipercaya, dengan menekankan
bahwa pencatatan itu dilakukan jauh setelah hadis muncul. Bahkan lebih jauh, ia
berpandangan bahwa karya “Abdullah bin ‘Amr yang berjudul Ash-Shadiqah
tidak ada artinya. Kemudian Abu Rayyah menunjukan bahwa Imam Ibn Syihab
al-Zuhri telah ditekan oleh Bani Umayyah untuk menuliskan hadis, sembari
mengutip perkataan Ibnu ‘Abd al-Barr bahwa al-Zuhri menolak untuk menuliskannya sampai para
pengeran-pangeran mendesaknya sehingga tidak ada lagi alasan untuk melarang
penulisan hadis.[16]
Ulama-ulam konservatif pada masa ini menolak pendapat Abu Rayyah.
Mereka beranggapan bahwa periwayatan secara lisan, berdasarkan daya ingat orang
Arab yang luar biasa dan pencatatan sebagiannya selama abad pertama, yang pada
akhirnya mengakibatkan terwujudnya himpunan Bukhari dan Muslim, merupakan
metode yang hampir tidak ada cacatnya untuk melestarikan material suci ini.
Bahkan menurut al-Siba’i, sesungguhnya tidak ada kontradiksi antara hadis yang
melarang pencatatan dan hadis yang membolehkannya. Ia berpendapat bahwa
pelarangan hanya menyangkut pembuatan daftar resmi hadis-hadis, sedangkan izin
untuk mencatat hadis-hadis dengan mudah
diberikan.[17]
Yang dimaksudkannya pelarangan pembuatan daftar resmi adalah memperlakukan
hadis seperti al-Quran. Dengan demikian menurut al-Siba’i pelarangan tersebut
menunjukan bahwa penulisan sudah ada sejak jaman Nabi saw.[18]
Adapun tuduhan terhadap al-Zuhri sama sekali tidak menggugurkan otensitas hadis
dan tidak menunjukan adanya indikasi dorongan untuk memalsukan hadis, tetapi
justru menunjukan bahwa mata rantai pemeliharaan dan pelestarian hadis berjalan
berkesinambungan tanpa terputus, sehingga tidak mengizinkan adanya ruang
kerugian lagi.[19]
Pada pendefinisian al-Sunnah, sebenarnya Abu Rayyah
mempunyai pandangan yang sama dengan para pengkaji hadis sebelumnya. Misalnya,
Abu Rayyah mendefiniskan hadis secara etimologi adalah al-thariqah
al-ma’budah/ المعبدة الطريقة (jalan) dan al-siirah al-mutba’ah/ السيرة المتبعة(perjalanan).
Al-Sunnah sebagai
pedoman hidup manusia yang menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an, Abu Rayyah
membagi al-Sunnah kepada dua bagian: Pertama, al-Sunnah
al-‘amaliyyah. Kedua, al-Sunnah al-qauliyyah. Adapun al-Sunnah
al-qauliyyah, Abu Rayyah menjadikannya pada derajat ketiga dari agama.
Ajaran Islam menurut Abu Rayyah adalah al-Qur’an, al-Sunnah al-amaliyyah,
kemudian al-Sunnah al-qauliyyah.
3). Adallah Shahabah (عد لة
الصحا بة)
Pemikiran Abu Rayyah terhadap hadis adalah mempertimbangkan aspek Adallah
Shahabah (yakni keadilan para sahabat). Dikatakan adil dalam Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern adalah “keadaan seimbang”. Maksudnya
adalah seimbang dalam perbuatan yang berdasarkan pada keasadarn, yang lahir
dari akal bukan hawa nafsu.[21] Menurut Khatib al-Baghdadi, adil adalah orang
yang mengerti serta biasa mengamalkan kewajiban-kewajiban agama yang telah
diperintahkan dan menjaga dirinya dari segala sesuatu yang dilarang. maka,
apabila ada orang yang memiliki sifat tersebut maka ia termasuk pada kategori
adil dalam agamanya, juga diterima dalam periwayatan hadisnya.[22]
Berbicara tentang sahabat, sahabat juga sangat urgen untuk dikaji.
Karena sahabat merupakan rawi pertama
dalam penerimaan hadis dari Nabi. Sehingga, menurut Abu Rayyah keadilan sahabat
sangat penting untuk dikaji. Definisi sahabat kita ketahui pada umumnya adalah
seseorang yang pernah melihat Nabi, atau hidupnya sezaman dengan Nabi SAW.
Senada dengan hal tersebut, mengutip Ibnu Shalah dalam mukaddimahnya mengatakan
bahwa dikalangan ‘ulama hadis bahwa sahabat adalah orang-orang yang
meriwayatkan hadis secara langsung dari Nabi walaupun hanya satu hadis yang
diriwayatkan. Tidak hanya itu, dikatakan pula sahabat apabila seseorang telah bertemu dengan Nabi walaupun
dalam mimpi. Namun, pendapat ini hanyalah sedikit.[23]
Selanjutnya mengenai Adallah Shahabah. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai pengertian Adallah Shahabah. Pertama,
menurut jumhur ‘ulama hadis bahwa sahabat semuanya adil (كل الصحابة عدول). Kedua, kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwa semua sahabat itu adalah adil terkecuali bagi mereka yang mengikuti dan
terlibat perang shiffin. Ketiga, sebagian ‘ulama berpendapat
bahwa semua sahabat boleh diuji keadilannya. Pendapat ini kebanyakan
dilontarkan oleh ‘ulama- ‘ulama khalaf seperti Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Mahmud Abu Rayyah dan lainnya. Menurut mereka bahwa sahabat itu adalah
manusia biasa yang boleh jadi khilaf atau alpa.[24]
Sehingga, menurut hemat kami pemikiran Abu Rayyah tentang Adallah
Shahabah dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Abu Rayyah perlu adanya kajian ulang terhadap keadilan
sahabat.
4). Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah
Dalam bukunya al-Adwa Ala Al-Sunnah Al- Muhammadiyyah, ada
salah satu sahabat yang terkena tarjih atau yang banyak dikritik oleh Abu
Rayyah, yaitu: Abu Hurairah.
Pada awal
kritiknya Abu Rayyah memulai dengan nama Abu Hurairah yang berbeda-beda.
Namanya tidak dikenal pada masa pra Islam dan pada masa Islam. An-Nawawi
mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Abu Rayyah bahwa nama Abu Hurairah
adalah Abdur Rahman bin Sakhr. Al- Qatb al-Halaby mengatakan bahwa Abu Hurairah
disatukan dengan nama bapaknya, hal ini terdapat sebanyak 44 kali, az- Zahabi mengatakan hal sama dan nama itu terkenal dengan nama Abdur
Rahman bin Sakhr. Sebelum masuk Islam Abu Hurairah bernama Abd Syam, Abd
Ghanam. Sementara al-Waqidi mengatakan bahwa nama Abu Hurairah adalah Abdullah
bin Amr, Abd Syam, Umair bin Amir atau Abd Umar. Diantara sekian banyak nama
Abu Hurairah menurut Umar bin al-Fallas yang paling shahih adalah Abd Umar dan
Bani Ghanam. Dalam hal ini Abu Rayyah mencukupkan dengan menyebut
kunyah atau julukannya yaitu Abu Hurairah. Selain perbedaan nama, Abu Hurairah
juga tidak diketahui secara jelas asal muasal serta sejarahnya sebelum masuk
Islam, selain dari pada apa yang ia sebutkan sendiri.[25]
Ia termasuk orang miskin dan fakir yang tidak memiliki rumah ataupun kerabat,
juga ummi. Dengan demikian pendapat Ibnu Qutaibah yang
dikutip oleh Abu Rayyah.
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits
Nabi saw, ia meriwayatkan hadits sebanyak 5374 hadits. Abu Hurairah
masuk Islam pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khaibar, Rasulullah sendiri
memberikan julukan “Abu Hurairah”, ketika beliau sedang membawa seekor kucing
kecil. Julukan dari Rasulullah saw. Itu semata kecintaan beliau kepadanya. Ia
datang kepada Nabi saw. di tahun ke 7 H sewaktu berada di Khaibar. Data ini
diperjelas oleh Ibn Sa’ad dalam kitab al-Thabaqat
al-Kubra yang menyatakan bahwa keturunan al-daus termasuk di dalamnya Abu
Hurairah mendatangi Nabi pada saat kampanye menentang Khaibar. Pada saat itu
Nabi memerintahkan kepada sahabat untuk membagi harta rampasan perang kepada
Abu Hurairah karena kemiskinannya, kemudian Abu Hurairah bergabung dengan ahli
suffah.[26]
Abu Rayyah menyatakan bahwa ketika Abu Hurairah berusaha mendekati
Nabi, terdapat satu satu misi yang penting dilakukannya yaitu mendapatkan
makanan. Bahkan dalam bukunya “ Syaikh
al-Madirah”, ia secara tegas menyatakan bahwa Imam Bukhari meriwayatkan
hadits yang menyebutkan bi syiba’
bathnihi atau lisyiba’ bathnihi (
untuk mengenyangkan perutnya ). Dengan analisa bahasanya, ia menunjukan kata li mempunyai pengertian ta’lil yang berarti bahwa Abu Hurairah
mendekati karena motivasi materil saja.[27]
Abu Rayyah juga berusaha menurunkan nilai Abu Hurairah dengan
menguraikan tentang reputasi Abu Hurairah sebagai orang yang rakus, seperti
yang disebutkan oleh as-Salabi dalam bukunya yang berjudul Simar
al-Qulub fi al-Mudaf wa al-Mansub. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Abu
Hurairah rakus kalau sedang makan, dan terutama menyukai madirah (hidangan yang
berupa susu dan daging). Hal ini membuat Abu Hurairah mendapat julukan Syaikh
al-Madirah.[28] Selain kedekatannya dengan Nabi, Abu
Rayyah menyatakan bahwa Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits dengan
waktu kebersamaan yang singkat dengan nabi yang hanya 3 tahun, padahal sahabat
lain tidak meriwayatkan sebanyak itu. Keraguan Abu Rayyah terhadapnya di
dasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Seberapa dekat Abu
Hurairah dengan Nabi dalam waktu yang singkat? 2) Riwayat yang menyatakan Abu
Hurairah lebih banyak meriwayatkan hadis dibanding sahabat yang lain yaitu
5374.
Keistimewaan Abu Hurairah dibandingkan sahabat Nabi yang lain, juga
menjadi objek kajian Abu Rayyah. Ia mengatakan bahwa tidak mungkin Abu Hurairah
mempunyai kedudukan yang lebih dari pada
sahabat yang lain, ambilah contoh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Amr. Abu Hurairah
pernah menyatakan bahwa tidak ada sahabat Nabi yang meriwayatkan lebih banyak dari dia kecuali Abdullah bin
‘Amr. Akan tetapi kenyataannya Abdullah bin ‘Amr hanya meriwayatkan sedikit
dibanding Abu Hurairah. Abu Rayyah menduga keras bahwa Abu Hurairah mungkin
tidak berani meriwayatkan hadits sebanyak yang diinginkannya, karena
sahabat-sahabat besar masih hidup pada saat ia membuat pernyataan ini. Mereka
mungkin tidak setuju dengan kegiatannya.[29]
Pada masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, Abu Hurairah menjadi
pegawai di Bahrain, karena banyak meriwayatkan hadits Umar bin Khatab pernah
menentangnya. Umar menyerang dengan cambuknya seraya berkata; “Engkau telah
meriwayatkan sedemikian banyak hadits, mana mampu engkau berdusta atas nama
Nabi”. Abu Rayyah melanjutkan kritiknya terhadap Abu Hurairah dengan
menyatakan bahwa Aisyah mencurigai terhadap
banyaknya riwayat-riwayat Abu Hurairah.[30] Ibnu Qutaibah menggambarkan hubungan antara Abu Hurairah dengan
Aisyah, ia menyatakan bahwa Aisyah pernah mengatakan: “Abu Hurairah
meriwayatkan suatu hadis dariku yang aku tidak meriwayatkan hadis tersebut”.
Ibn Qutaibah mendasarkan pada riwayat
yang berasal dari Ibnu Sa’ad dari Amr Ibn Yahya bin Umay dari kakeknya (
Sa’id ibn Amr) yang menyatakan: ketika Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: “Sesungguhnya
engkau meriwayatkan hadis yang aku tidak mendengarnya dari Nabi saw”. Abu
Hurairah menjawab dengan tidak sopan seraya berkata kepada Aisyah, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, al-Bukhari, Ibnu Katsir dan yang lainnya: “Wahai
Aisyah, saya mendapatimu sibuk dengan cermin dan tempat celak”. Sedangkan
dalam riwayat lan disebutkan, tidak ada sesuatupun yang membuatku sibuk darinya
(cermin dan tempat celak) tapi aku melihatnya kamu sibuk dengan hal itu.
Dalam riwayat lain pada bagian yang akhir disebutkan kata “ la’allaju” yang mempunyai arti do’a,
yaitu do’a Aisyah yang diberikan kepada Abu Hurairah, semoga engkau benar
terhadap apa yang engkau riwayatkan. Riwayat yang berkisar tentang Abu Hurairah
dan Aisyah menurut Abu Rayyah merupakan suatu kecurangan terhadap apa yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dengan demikian Abu Rayyah berusaha unuk
mempertanyakan kembali apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang
begitu banyak.[31]
Menurut Abu Rayyah banyak hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
dikarenakan kerakusannya. Selain itu, karena pengaruh pergulatan politik dimana
ia berpihak pada Mu’awiyyah dan menyebarkan hadits yang berpihak kepadanya,
sesuai dengan kebijakan yang diinginkannya. Pada masa pemerintahan Mu’awiyyah mereka membangan sebuah istana al-aqiq. Mengelilingi
dengan uang serta menyelimuti dengan berbagai pemberian. Mereka menyebarkan dan
mengumumkan nama Abu Hurairah dan mengangkatnya menjdi Gubernur di Madinah.
Juga menikahkan dengan Bisra binti Ghazwan adik Gubernur Utbah bin
Ghazwan. (Abu Hurairah menyampaikan hadis yang mengagumkan tentang
keutamaan-keutamaan Mu’awiyyah dan beberapa yang lainnya.[32]
Contoh hadis: Khadza hada
al-sahmu “ hadits yang diriwayatkan oleh al-Khatib bahwa Abu Hurairah
berkata: Nabi saw memberi sebuah anak
panah pada Mu’awiyyah dan berkata padanya: ambiah anak panah ini sampai engkau bertemu denganku
di surga. Hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Asakir, Ibnu ‘Adi dan al-Khatib al-Baghdadi mengatakan: aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: Allah telah mempercayakan wahyunya pada tiga
orang: aku, Jibril dan Muawiyyah.
Abu Hurairah membuat hadis yang melampaui batas-batas pada masa
kekuasaan Muawiyyah berdasarkan apa yang diinginkan Mu’awiyyah serta
kebijakannya yang diperlukan. Banyak hadis yang dibuat Abu Hurairah untuk
merendahkan Ali dan keluarga Nabi saw. Abu Ja’far al-Asfahani: Mu’awiyyah telah memaksa beberapa sahabat dan tabi’in untuk meriwayatkan
hadis-hadis yang buruk seputar Ali agar namanya tercemar serta memungkirinya.
Ia memberinya upah unuk itu. Maka, mereka membuat hadis yang memuaskannya. Di
antara mereka adalah Abu Hurairah, Amr bin Ash serta Mughirah bin Syu’bah. Di antara tabi’in adalah Urwah bin az-Zubair.
Menurut Abu
Rayyah, ‘ulama hadis menyebutkan bahwa Abu Hurairah termasuk perawi yang
Mudallis. Sebab tadlisnya adalah karena diketahui Abu Hurairah meriwayatkan
dari orang yang pernah bertemu tapi tidak mendengar langsung darinya, atau dari
orang yang semasa tapi tidak pernah bertemu dan mendengar hadis dari orang yang
sudah pikun.
Yazid bin Harun berkata: “Saya mendengar dari syu’bah
mengatakan, Abu Hurairah adalah tadlis yakni dia meriwayatkan apa yang di
dengarnya dari ka’ab al-Ahbar dengan apa yang di dengarnya dari Rasulullah, dan
ia tidak memisahkan antara satu dengan yang lainya”. Syu’bah mencontohkan
hal ini pada hadits yang berbunyi: Artinya: “Barang siapa yang menjumpai
waktu subuh, sedang ia dalam keadaan berhadas besar ( karena bersenggama dengan
istrinya) maka tidaklah berpuasa”. Hadis ini setelah dikonfirmasi pada Abu Hurairah, ia mengatakan mengabarkan kepadaku seorang
Mukhbir dan aku tidak mendengarnya dari Rasullah. Jadi, dalam hadis ini Abu
Hurairah tidak menyebutkan siapa yang menyampaikan hadis ini padanya. Dia hanya
menyebutkan dari seseorang Mukhbir tanpa mnyebutkan nama Mukhbir tersebut.
Menurut Abu
Rayyah, Aisyah mengingkari adanya hadits di atas. Aisyah mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah menemui waktu fajar dan beliau
dalam keadaan junub, kemudian beliau mandi dan puasa”. Dari riwayat tersebut di atas, Abu Rayyah memahami bahwa Abu Hurairah
meriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar dan menjadikannya apa yang didengar dari Ka’ab
al-Ahbar tersebut sebagai hadis dari Rasulullah. Abu Hurairah
mencampuradukan apa yang didengar dari Ka’ab al-Ahbar yang penuh kisah-kisah
israiliyyat dan khurafat dengan hadis Nabi. Selain hal tersebut, penyebab
tadlisnya Abu Hurairah adalah ia menjadi pelopor hadis yang ia sendiri tidak
menerimanya langsung dari Nabi. Banyak di antara hadits –hadits yang seharusnya belum ia terima, tetapi
sudah meriwayatkannya, Abu Rayyah mengungkap kembali hadits Abu Hurairah yang berbunyi: Seperti di atas.
Ketika hadits tersebut
diketemukan kontradiksi dengan hadits yang dikemukakan oleh Aisyah dan
Ummu Salamah, maka akhirnya Abu Hurairah mengakui bahwa hadits tersebut bukan
berasal darinya tetapi dari al-Fadl bin Abbas. Dalam hal ini Abu Hurairah
sangat ceroboh dalam berkata. Menurut Abu Rayyah, Abu Hurairah berusaha
mengelak dari kenyataan dan berkata riwayat tersebut berasal dari al-Fadl bin
Abbas, padahal ia suudah meninggal. Maka bagaimana mungkin Abu Hurairah menjadikan ia
sebagai mitra bicara dan mengambil riwayat tersebut berasal darinya. Ibnu Qatadah dalam hal ini memberi
komentar bahwa Abu Hurairah berusaha untuk menjadikan mayat sebagai saksi dan
mengelabui orang bahwa ia mendengar dari Rasulullah Saw. Hadis semacam ini menurut Abu Rayyah tidak
bisa diterima dan tidak dapat dijadikan hujjah serta dalil.[33]
3. PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
Mahmud
Abu Rayyah adalah tokoh muslim yang kontroversial dari Mesir yang pemikirannya
sering dikategorikan inkar al-Sunnah modern. Adapun tahun kelahirannya,
terdapat beberapa perbedaan. Dikatakan dilahirkan pada tahun 1887, dikatakan
pula tahun 1889 dan meninggal tahun 1970 (81 tahun). Tetapi, meskipun berbeda
ada beberapa informasi yang menyebutkan bahwa tahun kelahirannya yang lebih
masyhur adalah pada tahun 1889-1970.
2)
Adapun
secara spesifiknya pemikiran Abu Rayyah sebagai berikut: 1) al-Sunnah dan posisinya
dalam ajaran agama, menurut Abu Rayyah, al-Sunnah sebagai pedoman hidup
manusia yang menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an, Abu Rayyah membagi al-Sunnah
kepada dua bagian: Pertama, al-Sunnah al-‘amaliyyah. Kedua,
al-Sunnah al-qauliyyah. Adapun al-Sunnah al-qauliyyah, Abu Rayyah
menjadikannya pada derajat ketiga dari agama. 2) Seputar tadwin hadis,
Abu Rayyah menyatakan bahwa pencatatan tekstual literatur hadis tidak dapat
dipercaya, dengan menekankan bahwa pencatatan itu dilakukan jauh setelah hadis
muncul. 3) ‘Adalah al-sahabah, menurut pandangan Abu Rayyah yang harus
diteliti tidak hanya level bawah sahabat tetapi di semua tingkatan, sahabat
juga tidak bisa terlepas dari tarjih. Salah satu sahabat yang terkena tarjih
atau yang banyak dikritik oleh Abu Rayyah dalam bukunya adalah Abu Hurairah,
menurut Abu Rayyah: Abu Hurairah namanya banyak dan tidak jelas asal muasalnya,
motivasi kedekatannya dengan Nabi adalah hanya untuk mengenyangkan perutnya,
rakus, terlambat masuk Islam, dan banyak meriwayatkan hadis dari pada sahabat
Nabi lainnya dengan waktu yang sangat singkat. Pada masa Mu’awiyyah, ia menulis
hadis dengan tujuan politik dan ia seorang mudallis. Hal ini menyebabkan
menurut Abu Rayyah, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah harus diteliti
kembali.
3)
Terlepas
setuju atau tidaknya, kami mengira apa yang dilakukan oleh Abu Rayyah yaitu
mengoreksi kembali terhadap perawi pada tingkat sahabat, merupakan bentuk
ekspresi yang harus diteruskan agar studi Islam lebih bernyawa dan bermakna.
Sehingga nantinya tidak ada kesan bahwa
pemikriran Islam berhenti pada satu titik, melainkan lebih kaya akan kajian dan
nuansa keilmuan yang semakin bergairah. Maksud meneliti kembali disini,
yaitu tujuannya bukan untuk menurunkan
reputasi kashahihan sebuah hadis, seperti yang dilakukan oleh Abu Rayyah.
Melainkan, untuk melatih kemampuan kita dalam mengkaji hadis-hadis. Pada dasarnya, mengenai gagasan Abu Rayyah
terhadap Abu Hurairah kami sangat tidak setuju. Karena menurut kami Abu
Hurairah adalah seorang sahabat yang sangat mulia, dan sangat dekat sekali
dengan Nabi Saw, sehingga sangat minim sekali dipungkiri apabila beliau
tertolak periwayatannya. Pendapat kami ini, sejalan dengan penilaiannya jumhur
‘ulama terhadap kepercayaannya Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadis Nabi Saw.
B.
Kritik dan Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kami membutuhkan
sekali kritik dan sarannya dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini ke
depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidah, Dedeh.
2012. Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat, Skripsi
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Juynboll. 1999.
Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Terj. Ilyas Hasan. Bandung:
Penerbit MIZAN.
Millah,
Mus’idul. 2012. Mahmud Abu Rayyah (1887-1964) Penggerak Inkar Sunnah?
Dalam Yang membela dan Yang Menggugat, Muhammad Makmun Abha (ed),
Yogyakarta: CSS SUKA Press.
Rayyah, Mahmud
Abu, Adwa ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah. Kairo: Dar al-Ma’arif, tt.
Cet. 2.
Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa ‘Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, , Pdf. Vol.
9, No. 2.
Software
Lidwa Pusaka i
Suniyah. 2005. Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu
Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala As-Sunnah al-Muhammadiyyah, skipsi,
Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijga Yogyakarta.
Suryadi dan
Muhammad Al-Fatih Suryadilaga. 2012. Metodologi Penelitian Hadis,
Yogyakarta: TH-Press.
Suryadi. 2011. Yang
membela dan Yang Menggugat, yogyakarta: CSS Suka Press.
[1] Suryadi dan
Muhammad Al-Fatih Suryadilaga. Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta:
TH-Press, 2012), hlm. 4.
[2] Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa ‘Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, UIN Sunan
Kalijaga, Pdf. Vol. 9, No. 2, hlm. 274.
[3] Mus’idul
Millah, Mahmud Abu Rayyah (1887-1964)
Penggerak Inkar Sunnah? Dalam Yang membela dan Yang Menggugat,
Muhammad Makmun Abha (ed), (Yogyakarta: CSS SUKA Press, 2012), hlm. 100.
[4] Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’’Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. hlm. 273.
[5]
Muh. Munib,
“Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah (Telaah Atas Kitab Adwa’ Ala
al-Sunnah al-Muhammadiyyah)”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2012, hlm. 21.
[6] Merupakan
kitab yang isinya mencakup jawaban-jawaban Abu Rayyah atas tanggapan para ulama
terhadap pemikirannya mengkritik tajam Abu Hurairah dalam kitabnya Adwa.
[7] Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’’Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah
dalam Hunafa. hlm. 278.
[8] Muh. Munib,
“Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah. hlm. 22. Lihat juga pada
Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960).Terj. Ilyas Hasan.
(Bandung: Penerbit MIZAN, 1999), hlm. 57-58.
[9] Muh. Munib,
“Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah. hlm. 22.
[10] Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’’Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, hlm. 276.
[11] Muh. Munib,
“Muh. Munib, “Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah “. hlm. 15.
[12] Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’’Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. 276.
[13] Bunyi lengkap
teks hadisnya yaitu sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ
عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ إِذَا
نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ
التَّأْذِينَ فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ
بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ حَتَّى إِذَا قَضَى التَّثْوِيبَ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطِرَ
بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ
يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لَا يَدْرِي كَمْ صَلَّى
(Bukhari,
Keutamaan Mengumandangkan Adzan, no: 573, Lidwa Pusaka Software).
[14] Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’’Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. hlm. 274.
[15] Mus’idul
Millah, Mahmud Abu Rayyah (1887-1964), Penggerak Inkar Sunnah? Dalam Yang
membela dan Yang Menggugat. Hlm. 101.
[16] Suryadi, Yang
membela dan Yang Menggugat (yogyakarta: CSS Suka Press, 2011), hlm. 104.
[17] Suryadi, Yang
membela dan Yang Menggugat, hlm, 105.
[18] Juynboll,
Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Terj. Ilyas Hasan.
(Bandung: Penerbit MIZAN, 1999), hlm. 57-58.
[19] Suryadi, Yang
membela dan Yang Menggugat. hlm. 106.
[20] Mahmud Abu
Rayyah, Adwa ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah (Kairo: Dar al-Ma’arif,tt), hlm.10-11.
[21] Dedeh Hamidah,
Pemikiran G.H.A. Junyboll tentang Keadilan Sahabat. Skripsi, Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hlm. 52.
[22] Dedeh Hamidah,
Pemikiran G.H.A. Junyboll tentang Keadilan Sahabat, hlm. 59.
[23] Dedeh Hamidah,
Pemikiran G.H.A. Junyboll tentang Keadilan Sahabat, hlm. 60.
[24] Sochimin, Telaah
Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’’Ala Al-Sunnah
Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. hlm.
285.
[25] Suryadi, Yang
membela dan Yang Menggugat, hlm. 153.
[26] Shocinim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah
Dalam Buku “ Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah Muhammadiyyah dalam Hunafa”, hlm. 290.
[27] Shocinim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah
Dalam Buku “ Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah Muhammadiyyah dalam Hunafa. hlm. 291.
[28] G.H.A
Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir,
hlm. 97.
[29] Shocinim, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah
Dalam Buku “ Adwa’ ‘Ala Al-Sunnah Muhammadiyyahdalam Hunafa”, hlm. 291-292.
[30] Suniyah,
Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala
As-Sunnah al-Muhammadiyyah, skipsi, Fakultas Ushuluddin, Uin Sunan Kalijga,
Yogyakarta, 2005. hlm. 40.
[31] Suniyah,
Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala
As-Sunnah al-Muhammadiyyah, hlm. 41.
[32] Suniyah,
Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala
As-Sunnah al-Muhammadiyyah, hlm. 44.
[33] Suniyah,
Kritik Abu Rayyah Terhadap Abu Hurairah Dalam Kitab Al-Adwa’ ‘Ala
As-Sunnah al-Muhammadiyyah, hlm. 50.
makalah ini disusun oleh Disusun Oleh: Ai
Sahidah : (13530029), Anis
Sofwatunnisa : (13530050), Alis
Mukhlis : (13530142), Mulyadi : (13530085), Pemikiran Hadis Kontemporer
@
Tagged @ makalah abu rayyah
0 comments:
Post a Comment